Respon Polemik Permendikbudristek, LKG UM Surabaya Gelar Diskusi

  • Beranda -
  • Berita -
  • Respon Polemik Permendikbudristek, LKG UM Surabaya Gelar Diskusi
Gambar Berita Respon Polemik Permendikbudristek, LKG UM Surabaya Gelar Diskusi
  • 16 Nov
  • 2021

Poster diskusi Lembaga Kajian Gender (LKG) UM Surabaya Permendikbudristek nomor 30 tentang PKKS di lingkungan perguruan tinggi.

Respon Polemik Permendikbudristek, LKG UM Surabaya Gelar Diskusi

Lembaga Kajian  Gender (LKG) UM Surabaya menggelar diskusi dengan tema “Seks Bebas  dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021: Benarkah?  Acara yang  berlangsung virtual zoom(15/11/21) diikuti ratusan peserta mulai dari Dosen, Mahasiswa,dan Pegiat Gender. Diskusi ini dilatarbelakangi tingginya kasus kekerasan seksual yang  terjadi di perguruan tingggi di Indonesia.

Ketua Lembaga Kajian Gender Masulah memberikan  pengantar langsung. Acara dibuka oleh Wakil Rektor IV UM Surabaya. Tiga narasumber yang turut hadir dalam kegiatan ini yakni, Satria Unggul Wicaksana Dosen FH UM Surabaya sekaligus Aktivis KIKA, Aristiana Rahayu Dosen FKIP UM Surabaya sekaligus Aktivis  Gender dan Pemerhati Anak dan Nadief Rahman Harris Presiden BEM UM Surabaya.

Satria Unggul Wicaksana  menyampaikan terbitnya Permendikbudristek No 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi memberikan angin  segar sekaligus harapan atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban.

“Posisi saya setuju Permen itu, namun harus ada sedikit perbaikan dari  konsen pasal 5 ayat 1, perlunya sosialisasi secara massif dan  melibatkan banyak pihak perlu segera dilakukan untuk  meyamakan persepsi, termasuk  melibakan unsur keagamaan  dan juga perguruan tinggi, agar Permendikbud PPKS  tidak hanya menjadi  macan kertas, namun dalam praktiknya lemah.” ujarnya.

Selanjutnya, Aristiana Rahayu mengatakan, implementasi Permendikbud ristek PPKS ini dapat dimulai dari pengesahan SOP di lingkungan kampus, karena pengalamannnya dalam pendampingan korban, dampak traumatik sangat berakibat fatal.

“Diskusi ini sangat penting, mengingat kasus ini tidak hanya  terjadi  di  perguruan tinggi, melainkkan bisa menyerang mulai dari Pendidikn Anak Usia Dini. Saya pernah mendampingi korban pelecehan seksual, ternyata mereka membutuhkan lingkungan yang nyaman karena efek trauma yang berat dapat menimbulkan halusinasi” paparnya.

Sementara itu, Nadief  Rachman menegaskan  pentingnya adannya satgas di organisasi mahasiswa, level terendah yakni di level departemen, dan membuat sistem pelaporan di lingkungan kampus. serta keterlibatan penggambilaan keputusan yang melibatkan mahasiswa yang dalam hal ini bisa bisa diwakilkan BEM PTM Indonesia.