Pernah Tidak Naik Kelas hingga jadi Waiters saat SMA, Ini Kisah Satria yang Kini jadi Dosen UM Surabaya

  • Beranda -
  • Berita -
  • Pernah Tidak Naik Kelas hingga jadi Waiters saat SMA, Ini Kisah Satria yang Kini jadi Dosen UM Surabaya
Gambar Berita Pernah Tidak Naik Kelas hingga jadi Waiters saat SMA, Ini Kisah Satria yang Kini jadi Dosen UM Surabaya
  • 27 Des
  • 2022

Foto Satria Unggul Wicaksana Dosen UM Surabaya (Humas)

Pernah Tidak Naik Kelas hingga jadi Waiters saat SMA, Ini Kisah Satria yang Kini jadi Dosen UM Surabaya

Masa depan adalah misteri, tak ada yang tahu jalan sukses seseorang. Mungkin kalimat itulah yang tepat untuk menggambarkan lika-liku perjalanan karier Satria Unggul Wicaksana Dosen sekaligus Direktur Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya.

Rupanya sebelum menjadi Wakil Dekan dan berada di puncak karier, Satria memiliki perjalanan hidup yang getir. Sebagai anak terakhir dari 3 bersaudara, ayahnya Mulyadi dan Nyoman Sumetriyani bekerja sebagai penjual rombeng baju bekas di desa-desa. Baju rombeng itu dijual ke kawasan  rumahnya Gresik, Lamongan hingga Babat.

Saat menjadi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 26 Surabaya rupanya Satria pernah tidak naik kelas saat akan naik kelas 3. Hal tersebut lantaran ia tak bisa membeli buku-buku sekolah dan lima guru tidak memberinya nilai.

“Waktu itu sekolah belum ada dana bos, jadi membeli buku adalah perkara yang mahal. Jangankan untuk beli buku, untuk makan saja susah,”kata Satria Selasa (27/12/22)

Satria menyebut jualan rombeng kedua orangtunya hanya menghasilkan 5ribu-25 ribu perharinya dan itu untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga. Terlahir dari keluarga miskin harus membuat dirinya menjadi anak yang lebih mandiri karena orang tuanya harus bekerja dari Senin-Minggu.

“Jadi saat saya tidak naik kelas, saya sempat frustasi dan mengurung di kamar 2 hari. Waktu itu banyak sekali yang ngebully. Bahkan sempat saya mau pindah ke Bali karena ada keluarga Ibu disana,”kenang dia.

Setelah mengurung diri di kamar, ia berpikir dan tidak boleh berlama-lama meratapi nasib. Meski tidak naik kelas ia mencoba menjadi siswa yang lebih aktif, mengikuti berbagai olimpiade, aktif organisasi bahkan di tahun selanjutnya saat naik kelas 3 ia dipilih menjadi wakil ketua kelas.

Keaktifan di sekolah itu berlanjut hingga Satria Sekolah di SMA Muhammadiyah 8 Surabaya. Di sekolah tersebut Satria bertemu guru bernama Yusuf Ismail yang mengenalkannya dengan Muhammadiyah, organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), belajar mengaji dan agama.

“Waktu itu pengetahuan saya tentang agama sangat kurang, ibu muallaf dan kedua orang tua setiap hari kerja, jadi jarang ada waktu untuk ngobrol. Bersyukur bertemu Pak Yusuf Ismail beliau mengajari saya banyak hal tentang agama termasuk sering ngabsen sholat saya,”kenang Satria lagi.

Meski sekolah SMA nya gratis, Satria memilih sekolah sembari bekerja sebagai waiters di daerah Pakuwon, hal tersebut ia lakukan agar tidak meminta uang kepada orang tuanya dan untuk makan.

“Jadi saya sekolahnya pagi, pukul 2 sore sampai 11 malam saya jadi waiters gajinya 40ribu perhari, konsekuensinya saat sekolah saya sering ngantuk kadang juga tidur, tapi saya tetap imbangi dengan belajar agar nilai-nilai saya tidak turun,”kata Satria.

Aktivitas menjadi waiters ia lakoni sampai ia menjadi mahasiswa Ilmu Hukum UM Surabaya, namun  hal tersebut hanya berlangsung sampai semester 3.

Bertahan Hidup dengan Menjadi Juru Ketik di Kampus

Kegigihannya dalam bersekolah mengantrakan ia pada keberuntungan. Satria beruntung karena bertemu dengan Sudarusman, laki-laki yang kini menjadi Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 10 Surabaya tersebut bersedia membiayai kuliahnya hingga lulus. Karena dibiayai ia tidak ingin mengecewakan sehingga ia terus rajin belajar.

Saat menjadi mahasiswa hidupnya tidak langsung mudah, ia harus tetap mencari uang agar bisa bertahan hidup di Surabaya. Selama di Surabaya Satria tidak memiliki kos-kosan, ia tinggal di sekret Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Menurut keterangannya, ia pernah satu bulan penuh tidak memiliki uang  sehingga harus ikut makan temannya.

“Bersyukur ada yang mengasihani dan mengajak saya makan setiap harinya, setelah itu saya berpikir untuk menyambung hidup dengan bekerja sebagai wartawan kampus, membantu riset dosen sampai jadi juru ketik, berkat jadi juru ketik itulah saya diberi laptop oleh dosen,”kata Satria.

Dari tulisanlah keberuntungannya dimulai. Sejak saat itu ia giat menulis karya tulis ilmiah, Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM), bahkan Satria pernah lolos hingga PIMNAS.

“Beruntungnya dari semester 3 nulis PKM lolos terus dan didanai, jadi waktu itu saya niat nulis bukan karena prestasi, tapi nulis untuk bertahan hidup,”imbuh Satria lagi.

Tidak hanya mahir dalam tulis menulis, saat menjadi mahasiswa Satria pernah menjabat sebagai Presiden Eksekutif Mahasiswa (BEM) UM Surabaya dan menjadi wisdawan terbaik dengan lulus 3,5 tahun pada tahun 2015.

Setelah lulus Satria diangkat menjadi asisten dosen di Fakultas Hukum dan mendapatkan beasiswa dari UM Surabaya untuk melanjutkan studi di Universitas Airlangga (UNAIR) dengan jurusan hukum konsentrasi Hukum Internasional (HI).

Saat menjadi Dosen di UM Surabaya Satria tidak pernah berhenti untuk terus berkontribusi, pada tahun 2021 ia dinobatkan sebagai Dosen terimiplementatif di acara workhshop hasil luaran bantuan dana inovasi pembelajaran dan teknologi asistif bagi mahasiswa berkebutuhan khusus yang diselenggarakan Kemendikbudristek.

“Saya memiliki prinsip bahwa pendidikan adalah cara terbaik memutus mata rantai kemiskinan dan keterbelakangan,”pungkasnya.