I-Stockphoto
Ruang cyber terutama game online saat ini bukan hanya diminati oleh orang dewasa, namun juga anak-anak. Tanpa disadari bahaya dapat mengintai, salah satunya bahaya yang datang dari predator seksual.
Seperti yang kita ketahui, bahwa fitur yang tersedia dalam game online bukan hanya menyajikan permainan semata, namun memungkinkan user/pengguna saling berinteraksi dengan pengguna lainnya dari segala penjuru saat berlangsungnya permainan.
“Kondisi ini membuka peluang bagi para predator seksual mencari mangsa anak-anak sebagai kelompok yang rentan. Melalui tipu daya/tindakan manipulatif, atau yang dikenal dengan istilah child grooming,”ujar Holy Ichda Wahyuni Pakar Anak UM Surabaya pada Senin (8/7/24)
Mengapa anak-anak menjadi kelompok yang rentan? Holy menjelaskan, anak-anak menjadi kelompok yang rentan karena anak-anak masih belum dapat berpikir kritis tentang konsep persetujuan (consent).
“Anak-anak dapat dengan mudah terjebak pada bujuk rayu dengan iming-iming yang menarik bagi mereka, misal fitur game yang dapat mendukung permainan, hadiah, data internet, atau iming-iming lainnya,”imbuh Holy yang juga Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) UM Surabaya.
Menurutnya telah banyak terjadi, anak-anak yang menjadi korban pornografi karena terjebak dalam manipulasi pedofil pada game online. Seperti kasus anak-anak yang terbujuk mengirimkan gambar fulgar tubuhnya kepada partner game online. Ditambah dengan fitur anonymous, yang membuat para pelaku semakin berani.
Lantas apa yang seharusnya orang tua lakukan?
Menurut Holy, orang tua harus dapat memberlakukan regulasi dalam pola parenting terutama pada aktivitas screen time. Misal, game apa saja yang bisa diakses oleh anak di usianya, bahkan orang tua dapat hadir langsung mendampingi anak-anak ketika bermain game. Sehingga upaya pertama adalah membangun interaksi dan pendekatan emsoional yang intens dengan anak-anak.
Selanjutnya, orang tua juga dapat memberikan edukasi kepada anak-anak tentang bahaya memberikan informasi pribadi kepada orang tidak dikenal, baik identitas maupun foto.
“Edukasi pencegahan seksual sejak dini juga penting untuk dibangun. Tentang perilaku orang lain yang bisa dikategorikan sebagai pelecehan,”katanya.
Terkadang, bagi sebagian orang tua, obrolan tentang hal di atas terkendala dengan batasan tabu. Padahal sudah saatnya orang tua menormalisasi edukasi tentang literasi digital yang aman, serta pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.
“Apalagi, pendidikan pertama bagi anak, adalah lingkungan keluarga,”pungkasnya.
(0) Comments