Mengapa Ikan Buntal Tidak Boleh Dikonsumsi? Ini Kata Dosen UM Surabaya

  • Home -
  • Article -
  • Mengapa Ikan Buntal Tidak Boleh Dikonsumsi? Ini Kata Dosen UM Surabaya
Gambar Artikel Mengapa Ikan Buntal Tidak Boleh Dikonsumsi? Ini Kata Dosen UM Surabaya
  • 09 Mar
  • 2024

I-Stockphoto

Mengapa Ikan Buntal Tidak Boleh Dikonsumsi? Ini Kata Dosen UM Surabaya

Kasus tragis meninggalnya seorang ibu rumah tangga bersama dua anaknya setelah mengonsumsi telur ikan buntal di  Desa Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah menjadi sebuah sebuah tragedi yang memilukan sekaligus menjadi pengingat pentingnya tentang kesadaran masyarakat terhadap risiko konsumsi makanan. 

Nur Hidayatullah Romadhon Dosen Pendidikan Biologi UM Surabaya menjelaskan, ikan buntal dikenal dengan sebutan fugu di Jepang, pufferfish, blowfish, dan beberapa nama lain di berbagai belahan dunia, termasuk dalam famili Tetraodontidae. 

“Spesies ini terkenal karena kemampuannya mengembang dan  menjadi bola ketika terancam, serta karena mengandung racun yang sangat mematikan, hal ini yang menjadikan ikan buntal menjadi salah satu makanan paling beracun di dunia,”ujar Dayat Sabtu (9/3/24)

Namun di beberapa daerah ikan buntal masih dikonsumsi, meskipun racun tetrodotoxin tersebut tidak dapat dihilangkan dengan cara memasak atau membekukan, sehingga pengetahuan tentang bagaimana mengolah ikan buntal dengan aman sangat krusial dan hanya dilakukan oleh chef yang terlatih dan bersertifikat.

Dalam kasus ini Dayat menuturkan beberapa hal agar kasus ini tidak terulang kembali.  

Pertama, pentingnya edukasi dan kesadaran bersama. Dalam hal ini edukasi sangat berperan penting dalam menyadarkan masyarakat tentang risiko makanan tertentu khususnya mengandung racun. 

“Dalam hal ini edukasi yang diterapkan  tidak hanya mencakup identifikasi ikan buntal dan bagian-bagiannya yang beracun tapi juga tentang bagaimana racun tersebut mempengaruhi tubuh manusia dan mengapa sangat penting untuk tidak memakan ikan buntal,”imbuh Dayat lagi. 

Kedua, pentingnya regulasi dan pengawasan penjualan ikan buntal. Kasus kematian akibat konsumsi ikan buntal juga menunjukkan perlunya regulasi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap penjualan serta penyajian ikan buntal. Sehingga penjualan ikan Buntal bisa terkontrol dan hanya pihak - pihak tertentu yang bisa membeli dan memanfaatkan ikan buntal. 

Ketiga, pentingnya penanganan medis yang tepat. Ketika terjadi keracunan ikan buntal, akses cepat ke penanganan medis yang tepat bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati. Oleh karena itu, penting bagi fasilitas kesehatan untuk dilengkapi dengan pengetahuan dan peralatan yang diperlukan untuk menangani kasus keracunan tetrodotoxin secara efektif. 

Terakhir Dayat menegaskan, meninggalnya ibu rumah tangga dan dua anaknya merupakan tragedi yang sepenuhnya bisa akita cegah. Walaupun perlu  upaya bersama dari pemerintah, komunitas medis, penjual makanan, dan masyarakat luas untuk meningkatkan kesadaran, mendidik publik, mengimplementasikan regulasi yang ketat, dan memastikan tanggung jawab bersama dalam menghadapi risiko konsumsi ikan buntal.

“Dengan pendekatan komprehensif ini, diharapkan dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, kasus kematian akibat konsumsi ikan buntal di masa mendatang,”pungkas Dayat.