Tangkapan Layar Tik-Tok
Beberapa hari ini media sosial dihebohkan dengan kasus seorang pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur berinisial ME dilaporkan ke polisi karena menikahi secara siri santriwatinya inisial P yang masih 16 tahun. Pernikahan itu diduga dilakukan secara "diam-diam" tanpa sepengatuan orangtua si santriwati.
Santriwati berinisial P sudah dinikahi oleh pelaku sejak 15 Agustus 2023, namun Kasus pengasuh ponpes menikahi anak di bawah umur itu terungkap setelah P diketahui hamil pada 23 Juni 2024.
Ramainya hal ini ditaggapi Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UM Surabaya M Febriyanto Firman Wijaya. Lantas bagaimana Islam memandang hukum tentang menikah tanpa sepengetahuan orang tua?
Riyan menjelaskan, pernikahan merupakan salah satu momen penting dalam hidup manusia. Dalam Islam, pernikahan merupakan ibadah yang mulia dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Namun, dalam beberapa kasus, terjadi pernikahan yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait keabsahan pernikahan tersebut, baik dalam sudut pandang agama Islam.
“Dalam Islam, pernikahan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan. Salah satu rukun nikah yang wajib dipenuhi adalah adanya wali nikah bagi pihak perempuan. Wali nikah adalah pihak laki-laki dewasa yang berhak menikahkan perempuan berdasarkan garis keturunan atau karena penetapan hakim,”ujar Riyan Selasa (2/7/24)
Menurut mayoritas ulama, dalam rukun nikah ada empat hal yang manjadikan sah seseorang menikah; pertama, persetujuan kedua calon mempelai. Kedua ijab qobul. Ketiga wali nikah dan keempat 2 orang saksi.
“Sedangkan dalam kasus santriwati tersebut masuk dalam pernikahan yang dilakukan tanpa wali nikah dan dapat dikatakan tidak sah,”ujar Riyan.
Hal ini didasarkan pada beberapa hadis Rasulullah SAW, di antaranya:
Ia menjelaskan, ketiadaan wali nikah dalam pernikahan diibaratkan seperti bangunan tanpa pondasi. Bangunan tersebut tidak akan kokoh dan mudah runtuh. Pernikahan tanpa wali nikah dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari, seperti perselisihan keluarga, hak-hak perempuan yang tidak terjamin, dan lain sebagainya.
Namun, terdapat beberapa pengecualian terhadap ketentuan wali nikah. Dalam kondisi tertentu, seorang perempuan diperbolehkan menikah tanpa wali, seperti:
“Dalam kondisi-kondisi tersebut, perempuan dapat mengajukan permohonan wali hakim kepada Pengadilan Agama. Wali hakim adalah pejabat berwenang yang bertugas menikahkan perempuan yang tidak memiliki wali nasab,”katanya.
Peraturan perundang-undangan tentang wali nikah juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Pasal 19 Bab 3 Kompilasi Hukum Islam Indonesia menyatakan: Perwalian perkawinan merupakan tiang yang harus dipenuhi oleh calon mempelai.
Pasal 20 (2) menjelaskan bahwa ada dua jenis wali: wali nasab dan wali hakim.
Pasal 23 ayat (1) mengatur bahwa wali hakim bertindak sebagai wali nikah bila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau enggan.
“Sedangkan dalam kasus santriwati yang dinikahi pengasuh pondok di lumajang masih memiliki Ayah sebagai orang tua kandungnya, dan secara sah sebagai wali nikahnya. Maka jika ditarik ketentuan Hukum Islam pernikahan oleh Pengasuh Pondok di Lumajang tersebut tidak sah dan bisa di jatuhi hukum perzinahan,”pungkas Riyan.
(0) Komentar