Ilustrasi gambar (I-Stockphoto)
Beberapa hari ini media sosial dihebohkan dengan istilah gaul roleplay. Roleplay menjadi bahan pembahasan khususnya para orang tua. Hal tersebut dikarenakan viralnya sebuah video viral di TikTok mengenai seorang anak yang dimarahi Sang Ayah lantaran bermain roleplay. Setelah ditelusuri lebih jauh, si anak ternyata melakukan roleplay yang tak pantas untuk anak seusianya bersama orang-orang yang tidak dikenalnya.
Ramainya kasus tersebut menarik perhatian Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) UM Surabaya Holy Ichda Wahyuni, sehingga ia angkat bicara.
Holy menjelaskan, permainan roleplay jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bermain peran menjadi salah satu bentuk game yang saat ini cukup digemari di aplikasi Tiktok. Mirisnya sebagian besar anak-anak di bawah umur turut memainkannya.
“Ketika bermain roleplay, kita bisa menjadi peran apapun yang kita mau. Memerankan karakter idola, memainkan karakter yang diinginkan, kemudian bergabung dengan circle pengguna lain yang memiliki kecenderungan karakter yang sama. Mereka dapat berinteraksi dengan membawakan permainan karakternya melalui chat, sampai pada kolaborasi video,”ujar Holy Jumat (23/6/23)
Holy menegaskan, ternyata di balik permainan roleplay ada banyak dampak negatif terutama pada anak anak di bawah umur.
Pertama, anak-anak akan kehilangan jati diri dan karakter (terdistraksi dengan dirinya sendiri), karena bisa jadi mereka lebih nyaman memainkan peran menjadi tokoh/ karakter idolanya.
Kedua, anak-anak bisa berpotensi sukar dalam membedakan dunia nyata dengan dunia virtual yang diciptakan oleh permainan roleplay. Apalagi ketika mereka telah hanyut dalam imajinasi.
Ketiga bisa memicu terjadinya tindakan asusila di ruang cyber. Anak-anak yang telah nyaman dengan circle role playnya bisa menjadi korban tindakan manipulatif pelaku untuk menggiring terjadinya pelecehan seksual dengan dalih memainkan peran dalam roleplay.
Lantas apa yang harus orangtua dan lingkungan lakukan?
Pertama,tetap memberikan pengawasan terhadap interaksi anak dengan gadgetnya.
Kedua, peka terhadap perubahan perilaku anak. Di tengah arus media sosial yang semakin canggih, orang tua harus bisa menjadi teman yang baik untuk anak.
Ketiga, orang tua harus lebih aware dengan aktivitas dan kegemaran anak.
Terakhir dan tak kalah penting adalah penanaman "konsep diri" sejak dini. Yakni mengenalkan pada anak, siapa dia, apa kesukaannya, bagaimana karakternya secara ciri fisik, psikologis, dan perasaannya terhadap dirinya.
“Memberikan apresiasi dan kebermaknaan terhadap diri pribadi anak pada pengenalan konsep diri akan membuat anak bangga dengan dirinya. Tidak mencoba untuk menjadi orang lain,”tegas Holy.
(0) Komentar