Nadiem Makarim (Sumber: Kemdikbud.go.id)
Mendikbudristek Nadiem Makarim membuat kebijakan penghapusan tes kemampuan baca tulis dan berhitung (Calistung) sebagai syarat masuk jenjang Sekolah Dasar (SD). Nadiem melarang sekolah melakukan tes Calistung bagi SD dalam penerimaan siswa baru.
Ramainya hal tersebut ditanggapi Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) UM Surabaya Holy Ichda Wahyuni.
Holy menyebut, menghapus syarat calistung (membaca menulis berhitung) ketika masuk SD dengan tidak memperkenalkan kemampuan calistung adalah dua hal yang berbeda. Menurutnya, penghapusan syarat ini akan memberikan dampak , terutama pada pola pendidikan anak usia dini menjelang masuk usia Sekolah Dasar (SD).
“Belakangan memang banyak fakta di lapangan, bagaimana orang tua berupaya sangat keras, agar anak-anak mereka dapat mengusai baca tulis hitung sebelum masuk SD, bahkan anak-anak usia dini banyak yang diikutkan les calistung dengan alasan bahwa orang tua tidak ingin melihat anaknya jauh tertinggal dengan teman-temannya saat masuk SD,” kata Holy Kamis (30/3/23)
Holy menyebut, penghapusan syarat ini membuat orang tua bisa mendapatkan ruang yang longgar untuk mengatur ulang pola pendidikan untuk anak-anak.
“Anak-anak dapat kita beri kesempatan juga untuk lebih mengeksplor masa kanak-kanaknya secara perlahan, tidak harus semua kemampuan (calistung) dipaksakana secara tergesa-gesa,”imbuh Holy lagi.
Menurutnya, ada banyak kemampuan dan keterampilan lain yang tidak bisa orang tua abaikan ketika dalam proses pengasuhan anak usia dini. Seperti konsep emosi, mengenali perasaan, bonding keterbukaan dengan orang tua dalam interaksi yang harmoni. Konsep ini tidak kalah pentingnya dalam mempersiapkan anak sebelum masuk SD.
“Orang tua tentu boleh mengenalkan calistung sederhana pada anak-anak, dalam nuansa bermain. Namun yang perlu menjadi kesadaran bersama, ketika masuk SD namun anak belum memiliki kemampuan yang bagus dalam calistung hal tersebut bukanlah sebuah kesalahan fatal,”tegas Holy lagi.
Dalam penjelasannya, Holy juga mengaitkan dengan teori perkembangan anak yang dicetuskan oleh tokoh pendidikan “Jean Piaget”, bahwa pada usia 2-7 tahun (usia pra sekolah hingga usia awal masuk SD) masih masuk pada tahapan pra operasional. Tahap ini anak belum bisa diajak berpikir abstrak dan mengungkapkan pemikiran logis.
Ia menjelaskan, pada tahap kognitif anak pada fase ini banyak berkaitan dengan hal-hal simbolik, seperti gambar-gambar. Sementara itu pada usia 7-11 tahun (usia SD) anak sudah mulai dapat diajak berpikir logis, seperti mempelajari matematika.
“Dari sini tentu kita tahu, bahwa selama di SD mereka masih bisa belajar dan berlatih secara optimal sesuai tahap perkembangannya pada kemampuan calistung. Tentu saja, kurikulum di SD memberikan banyak ruang dan dukungan untuk tercapainya kemampuan tersebut,”pungkas Holy.
(0) Komentar