Istimewa
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Satria Unggul Wicaksana memberikan tanggapan soal vonis hukuman Harvey Moeis, suami Sandra Dewi yang mendapatkan vonis 6,5 tahun penjara sebagai tersangka dalam kasus korupsi timah senilai 300 T (Triliun).
Satria memberikan 3 catatan penting. Pertama terkait peran hakim yang memiliki tanggung jawab besar dalam memutuskan kasus ini. Kata Satria hakim memiliki peran penting dalam menggali keadilan di tengah masyarakat karena itu adalah bagian dari kekuasaan kehakiman.
“Dalam kasus ini hakim tidak bekerja dengan baik atau bahkan kita bisa sebut bekerja dengan buruk, kita tahu kerugian negara itu ditaksir sampai 27 triliun rupiah itu bukan angka yang kecil. Secara ekonomi maupun sosial cost bahkan environmental cost ini sangat merugikan Indonesia,”ujar Satria Senin (30/12/24)
Kedua, hakim seharusnya memberi vonis berdasarkan beban kerugian keuangan negara karena ini adalah lex specialis atau aturan hukum yang khusus pada undang-undang Tipikor.
Sehingga, kata Satria tidak boleh ada anasir-anasir misalkan karena dia berperilaku baik, maka divonis ringan atau misalkan vonis hukuman badannya sekian namun dengan cara mengembalikan keuangan negara sebagai dampak environmental cost itu setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan.
“Itu mungkin fair, tapi kalau hukuman badannya segitu dan ganti ruginya hanya sebesar 1 miliar ini dalam kacamata pemberantasan tindak pidana korupsi ini sangat-sangat bertentangan,”tegas Satria lagi.
Ketiga, saat ini Indonesia melakukan transisi energi dan tentu problem-problem climate crisis yang ditimbulkan dari korupsi sektor sumber daya a
lam ini menciptakan efek luar biasa dan ini sebenarnya hukumannya jauh lebih berat.
“Jaringan aktor yang terlibat di dalam korupsi timah ini harusnya jauh lebih berat dan ganti ruginya harus setimpal,”imbuh Satria lagi.
Satria menjelaskan di dalam prinsip hukum lingkungan ada yang disebut sebagai ganti rugi mutlak atau strict liability yang terdapat di undang-undang lingkungan hidup dan juga termaktub ke dalam prinsip-prinsip hukum lingkungan universal yang ada di dalam konvensi Rio de Janeiro 1992, deklarasi Stockholm 1972 dan sekarang prinsip-prinsipnya tertuang didalam COP 26/27 yang juga menyangkut terkait dengan konsep strict liability.
“Maka isu tentang environmental cost atau kerugian environmental damage of corruption dampak kerugian lingkungan sebagai dampak korupsi itu harus dikembalikan secara mutlak,”tegasnya.
Kata Satria hal ini hanya akan mencederai keadilan di masyarakat, juga memperburuk citra Indonesia di mata dunia terkait dengan komitmen untuk menangani krisis climate crisis dan semakin memperkuat persepsi masyarakat bahwa oligarki inilah yang justru berkuasa dan dapat dalam tanda petik "jual-beli perkara" atau mempengaruhi independensi Hakim.
Menurutnya hal ini beban bagi Komisi Yudisial untuk mengusut sejauh mana keterlibatan hakim wisata memberi vonis ringan dalam kasus korupsi timah ini.
“Ada pula kewenangan KPK misalkan untuk melihat prosedur hukum yang dijalankan di dalam kasus timah dan bagi Jaksa ini di bawah Kejaksaan Agung berharap ada upaya banding hingga putusannya ini betul-betul sejalan dengan prinsip-prinsip hukum anti korupsi dan hukum lingkungan yang tadi juga sudah saya jelaskan,”pungkasnya.
(0) Komentar