Ilustrasi gambar (I-Stockphoto)
Persoalan tagar #BlokirKominfo menjadi trending topic di media sosial Twitter usai Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir sejumlah platform dan website yang tidak terdaftar PSE.
Hal tersebut memancing warganet untuk beramai-ramai melontarkan tanggapan dan kritikan terhadap kebijakan yang diambil Kominfo dengan menggunakan tagar #BlokirKominfo.
Para pengguna tagar #BlokirKominfo tersebut mendapatkan serangan digital dari pihak yang tidak jelas lewat aplikasi pesan singkat WhatsApp seperti yang diunggah pada cuitan akun Twitter @secgron. Setidaknya ada 10 orang tercatat mendapatkan serangan siber, mulai dari konten creator, software enginer hingga standup comedian.
Ramainya kasus tersebut menarik perhatian Radius Setiyawan Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) untuk memberikan tanggapan.
“Serangan digital yang diterima oleh banyak pihak karena hastag #Blokirkominfo menjelaskan bahwa gerakan di dunia cyber atau aktivisme digital bukan sesuatu yang bisa kita remehkan,”jelas Radius Sabtu (6/8/22)
Menurut Radius yang juga Alumnus Kajian Media dan Budaya, hastag bukan sesuatu yang tidak mempunyai kekuatan. Dalam banyak kasus hastag mampu menggerakkan. Hastag mampu berfungsi sebagai alat intervensi yang terorganisir.
“Ketika menjadi trending tidak menutup kemungkinan hal tersebut menarik perhatian publik dan efeknya adalah gerakan nyata,”ungkapnya.
Ia juga menjelaskan, dalam kasus yang terjadi beberapa hari ini. Teror kepada beberapa orang menegaskan bahwa medium digital ternyata tidak sebebas yang dibayangkan. Masyarakat rentan terhadap represi di dunia digital. Dalam banyak kasus dapat dikooptasi oleh kelompok anti demokrasi baik yang berasal dari dalam ataupun di luar negara untuk menjadi alat teror yang efektif.
“Tujuannya jelas, membungkam pihak-pihak yang dianggap membahayakan. Kondisi tersebut jelas membahayakan bagi demokrasi,”tutup pengajar cyberculture tersebut.
(0) Komentar