ANTARA FOTO
Presiden Jokowi menyatakan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak di dalam pemilihan presiden, sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara. Presiden juga menyatakan ini terkait dengan hak politik warga negara dan jabatan politik yang dipegang oleh masing-masing pejabat negara.
Berdasarkan pernyataan tersebut, Direktur Pusat Studi Anti-korupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana memberikan tanggapannya. Menurutnya ada tiga hal penting terkait ini.
Pertama, Adagium "power tends to corrupt absolute power corrupt absolutely" ternyata menjadi masalah bagi Presiden Jokowi yang dengan kentara mendukung Prabowo-Gibran. Praktik politik demokrasi ini menjadi masalah serius dan dapat membunuh demokrasi. Levitski dan Zibalt dalam bukunya "how democeacy die" menunjukkan bahwa praktik otiritariter politik dan nir-akuntabilitas menjadi demokrasi Indonesia kedepan mati.
Kedua, secara normatif, merujuk UU No. 7 Tahun 2017, khsusnya di dalam Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 terdapat larangan kepada “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.
"Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi Presiden dan Pejabat Negara lain, termasuk Menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye,"ujar Satria Kamis (25/1/24)
Ketiga, presiden Jokowi adalah simbol kepemimpinan negara, netralitas menjadi kata kunci agar demokrasi tetap hidup dan Indonesia tidak terjebak dalam otoritarianisme.
"Sehingga, netralitas betul-betul harus dijaga, dan tidak menggunakan instrumen negara seperti bansos, proyek sarat klientelistik, dan konsesi sehingga kepemimpinan nasional akan tetap terjaga,"pungkas Satria.
(0) Komentar