Soal Polemik Tapera, Ini Kata Pakar Ekonomi UM Surabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Soal Polemik Tapera, Ini Kata Pakar Ekonomi UM Surabaya
Gambar Artikel Soal Polemik Tapera, Ini Kata Pakar Ekonomi UM Surabaya
  • 01 Jun
  • 2024

Tangkapan Layar Tik-Tok

Soal Polemik Tapera, Ini Kata Pakar Ekonomi UM Surabaya

Di tengah kondisi melemahnya daya beli dan konsumsi masyarakat, publik digemparkan dengan adanya polemik penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kebijakan Tapera akan semakin menambah panjang potongan gaji para buruh dan pekerja, khususnya swasta. Antara lain potongan untuk pajak penghasilan (PPh), BPJS Kesehatan, dan BP Jamsostek seperti jaminan hari tua (JHT), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kehilangan pekerjaan dan lainnya. 

“Artinya, hal tersebut dapat semakin membebani peningkatan daya beli dan konsumsi masyarakat,”ujar Arin Pakar Ekonomi UM Surabaya. 

Arin menjelaskan, PP nomor 21 tahun 2024 juga mengatur pemberian gaji yang besar untuk komisioner Tapera. Tentu hal ini menambah semakin panas tuduhan miring pada kebijakan pemerintah. 

“Pejabatnya diberi gaji plus tunjungan ditambah, sementara pegawai gajinya dipotong,”kata Arin Sabtu (1/6/24)

Di dalam PP nomor 21 tahun 2024 mengamanatkan pemotongan gaji buruh untuk iuran Tapera sebesar 3%. Dengan rincian; porsi 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% dibebankan ke perusahaan pemberi kerja. Bagi yang tidak ditanggung perusahaan pemberi kerja (wiraswasta), maka tagihan potongan 3% harus ditanggung sendiri.

Menurut Arin, selain dari aspek jumlah persentase dan nominal, soal jaminan kepastian memperoleh rumah bagi buruh dan peserta Tapera setelah bergabung dengan program tersebut perlu dipertegas dan diperjelas. Supaya tidak merugikan buruh dan peserta Tapera.

Secara teknis, hitungan kasar jika rerata upah buruh Indonesia di angka Rp 3,5 juta per bulan, dipotong 3% per bulan maka nominal iurannya sekitar Rp 105.000 per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun. Mengingat Tapera merupakan tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul di angka Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000. Nominal yang kecil untuk ukuran rumah, sekaligus apakah harga rumah untuk jangka waktu 10 atau 20 tahun ke depan masih sama? Meski ditambah dengan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, apakah dana yang terkumpul cukup untuk membeli rumah? Tentu hal ini perlu ditinjau lagi. 

Seharusnya, jaminan kepemilikan rumah itu menjadi kewajiban negara. Sedangkan menghadirkan Tapera untuk pegawai khususnya pegawai swasta belum solusi efektif, namun merupakan upaya pengalihan tanggungjawab pemerintah sekaligus bukti minimnya peran pemerintah.

“Akhirnya di tengah kegaduhan ini banyak dari masyarakat berpikir bahwa pemerintah hanya sebagai pengumpul iuran dari rakyat dan buruh,”pungkas Arin.