Soal Anggota Paskibraka Diminta Lepas Jilbab, Ini Tanggapan Pakar UM Surabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Soal Anggota Paskibraka Diminta Lepas Jilbab, Ini Tanggapan Pakar UM Surabaya
Gambar Artikel Soal Anggota Paskibraka Diminta Lepas Jilbab, Ini Tanggapan Pakar UM Surabaya
  • 15 Agu
  • 2024

Foto tangkapan layar BPMI Setpres (Humas)

Soal Anggota Paskibraka Diminta Lepas Jilbab, Ini Tanggapan Pakar UM Surabaya

Berita tentang 18 calon paskibraka putri tingkat nasional yang lepas jilbab saat pengukuhan di Ibu Kota Negara (IKN) membuat heboh publik. Ketua BPIP, Yudian Wahyudi selaku Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyatakan bahwa keputusan itu telah disetujui oleh anggota paskibraka putri. Ia menyatakan bahwa tujuan dari melepaskan jilbab merupakan bagian dari mengimplementasikan nilai-nilai Bhineka Ika dalam pengibaran bendera. 

Kebijakan ini  menimbulkan banyak kontra di masyarakat, mengingat baru sekarang ini berdasarkan peraturan yang dirilis pada SK dan Surat Edaran BPIP memang tidak ada poin yang mengatur tentang pakain paskibraka putri yang berjilbab. Artinya bahwa peraturan tersebut berlaku di seluruh Indonesia karena pada kenyataannya surat Edaran ditunjukkan kepada Gubernur dan Walikota seluruh Indonesia.

Sri Lestari Pakar Perempuan dan Anak UM Surabaya menilai munculnya peraturan ini mengabaikan dua hal, yaitu proses kesadaran akan beragama itu sendiri dan Hak Asasi Manusia. 

“Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat menggunakan jilbab adalah bagian dari nilai-nilai keberagaman dan hak asasi manusia. Pada konteks agama Islam, jilbab menjadi salah satu bentuk pelaksanaan agama dan itu merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) dalam beragama yang telah diatur pada undang-undang,”ujar Tari Kamis (15/8/24)

Menurut Tari, pernyataan klarifikasi ketua BPIP yang menyebutkan bahwa anggota Paskibraka putri tetap boleh menggunakan jilbab kecuali pada momen pengukuhan dan pengibaran bendera dapat dinilai pula mencederai nilai-niai ibadah dalam jilbab itu sendiri. 

“Berbeda lagi jika selama ini mereka menganggap jilbab sebagai simbol belaka, bukan manifestasi ibadah, tentu bisa dipakai lepas kapan pun.  Pasalnya, bagi beberapa orang, dalam hal memutuskan memakai jilbab, tentu memerlukan proses kesadaran yang panjang,”tegas Tari lagi. 

Ia mengatakan, keputusan BPIP ini mencerminkan tindakan yang mencederai keberagaman dan Bhineka tunggal Ika itu sendiri. Intrepretasi penyeragaman pakaian untuk mewujudkan semangat Bhineka Tunggal Ika yang disampaikan oleh ketua BPIP layak dikiritisi masyarakat tentunya. 

Menurutnya, menjadi paskibraka tentu menjadi salah satu kebanggaan tersendiri karena merupakan prestasi serta menjadi wujud bela negara. 

“Jangan sampai ada anggapan melalui peraturan ini negara sedang mengatur dan membatasi ekspresi beragama seseorang. Padahal, kenyataannya nasionalisme bisa mewujud dalam banyak hal dan tak perlu dibatasi ekspresinya seperti halnya pesan Bhineka Tunggal Ika. Jangan sampai terjadi lagi kenangan pahit di masa orde baru yang mendiskriminasi perempuan berjilbab,” pungkasnya.