Ilustrasi gambar (Liputan6)
Hubungan Indonesia-Malaysia sering kali memanas karena persoalan klaim-mengklaim. Beberapa hari terakhir media sosial dihebohkan pemberitaan perseteruan dua negara serumpun yang memperebutkan wilayah terkait penggunaan bahasa resmi di ASEAN (Association Of Southeast Asian Nations).
Perseteruan ini bermula saat Perdana Menteri Malaysia, Dato Sri Ismail Sabri Yaacob mengusulkan agar bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi ASEAN selain bahasa Inggris; sementara Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek Indonesia Nadiem Anwar Makarim menolak usulan tersebut dan mengatakan perlu adanya kajian dan pembahasan lebih lanjut, bahkan dalam siran pers No.178/Isipers/A6/IV/2022.
Ramainya isu tersebut menarik perhatian Sujinah dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) untuk memberikan tanggapan.
Dalam keterangan tertulis Sujinah mencermati perkembangan bahasa Indonesia, terkait peluang dan tantangan bahasa Indonesia menjadi bahasa Asean. Menurutnya peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa Asean sangat besar sekali mengingat bahasa Indonesia mempunyai kelebihan baik dari aspek historis, hukum dan linguistik.
“Tidak dipungkiri bahwa cikal bakal atau embrio bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, karena bahasa Melayu merupakan rumpun bahasa yang sudah digunakan di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Talang Tuwo di Palembang, Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, dan Prasasti Karang Berahi di Jambi,”jelas Sujinah Selasa (17/5/22)
Ia juga menjelaskan Di Jawa Tengah ditemukan Prasasti Gandasuli 832 M dan di Bogor prasasti bertuliskan angka tahun 942 M yang menggunakan bahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan menyebarnya agama Islam yang dibawa oleh para saudagar sehingga bahasa terkenal dengan bahasa perhubungan (lingua franca) antarpulau, antar suku, antar pedagang, antarbangsa karena sistemnya mudah dipelajari karena tidak ada tingkat tutur berdasarkan strata sosial.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 terutama butir ketiga “Kami poetera dan poeteri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean bahasa Indonesia” sebagai tonggak dikenalnya nama bahasa Indonesia oleh seluruh bangsa Indonesia. Sutan Alisyahbana menyatakan “Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Tenggara dan setelah bangkitnya pergerakan kebangsaan rakyat Indonesia pada permulaan abad dua puluh dengan insaf diangkat sebagai bahasa persatuan”.
Penggunaan ungkapan dengan insaf (insaf diangkat, dijunjung, serta digunakan sebagai bahasa yang menghubungkan dan mempersatukan rakyat Indonesia) mengandung makna bahwa bahasa yang dahulu disebut bahasa Melayu berbeda dengan bahasa yang disebut dengan bahasa Indonesia.
“Saat ini bahasa Indonesia telah berkembang jauh meninggalkan bahasa Melayu dan menjadi jati diri bahasa Indonesia dengan diperkayanya kosa kata bahasa Indonesia baik dari berbagai bahasa asing dan bahasa daerah. Sebagai bahasa negara resminya sejak adanya Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pada tanggal 18 agustus 1945,”imbuhnya lagi.
Selanjutnya ia menambahkan bahwa bahasa Indonesia diperkaya lebih dari 1.100 bahasa daerah di Indonesia, digunakan oleh 714 suku bangsa, di 513 Kabupaten/kota, 34 propinsi, dan 16.056 pulau di Indonesia. Penutur bahasa Indonesia jauh lebih banyak dibanding jumlah penutur bahasa Melayu yakni 199 juta : 19 juta (hasil riset etnolog yang dilaporkan pada Desember 2021). Bahasa Indonesia terus berkembang menjadi bahasa modern, yang dibuktikan dengan banyaknya penutur bahasa Indonesia di seluruh dunia (48 negara penyenggara BIPA) karena bahasa Indonesia mudah diterima, mudah dipelajari, dan dipahami.
“Tantangan terbesar pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa Asean justru berasal dari internal bangsa Indonesia sendiri. Di saat ini, banyak pemimpin yang seharusnya menjadi teladan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar justru tidak menerapkan hal ini. Mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Asing,”katanya lagi.
Ia kembali menambahkan banyaknya generasi milineal yang merasa lebih keren dengan menggunakan bahasa Asing daripada menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan istilah atau penamaan perumahan, toko, mal, swalayan, tempat wisata, ruang publik, apalagi media sosial dan lain sebagainya, seharusnya bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Literasi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus digalakkan di seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
“Pada akhirnya seperti yang disampaikan oleh Kepala Badan Bahasa bahwa bahasa Melayu bagi orang Indonesia adalah salah satu dari bahasa daerah. Di Indonesia ketika ada yang menyebut bahasa Melayu, perspektinya adalah bahasa daerah, hal ini merujuk data badan bahasa di Indonesia ada 87 dialek bahasa Melayu,”jelasnya.
Selanjutnya harapan pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang negara tertulis bahwa negara mengusahakan meningkatkan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
(0) Komentar