Ilustrasi gambar (ANTARA)
Ramai di sosial media tentang persyaratan pendaftaran calon Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Pemilu 2024 tidak wajib menyertakan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) saat mendaftar ke KPU. Calon anggota DPR hanya perlu membuat surat pernyataan bermeterai berisi pengakuan tidak pernah dipenjara dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Syarat tersebut juga berlaku bagi calon anggota DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota di Pemilu 2024 mendatang. Kemudian, calon anggota DPR dan DPRD pun tidak wajib menyertakan fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) saat mendaftar ke KPU. Mereka juga tidak wajib menyertakan surat tanda terima atau bukti penyampaikan laporan harta kekayaan pribadi kepada KPK.
Ramainya hal tersebut ditanggapi langsung oleh Satria Unggul Wicaksana Dosen sekaligus Pakar Hukum UM Surabaya. Menurutnya kebijakan tersebut ada banyak kejanggalan yang terjadi, khususnya berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas dari calon anggota DPR juga DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
“Pertama, apabila proses pemilihan anggota DPR yang memiliki tugas berat ternyata diisi oleh orang-orang yang memiliki rekam jejak buruk, tentu akan menjadikan produk legislasi dan kinerja legislasi yang buruk pula,”tegas Satria Kamis (8/9/22)
Menurutnya, survey dari indikator pada tahun 2022 kepercayaan masyarakat terhadap badan legislatif hanya 61% untuk mengawal demokrasi dan anti-korupsi. Hal ini menandakan persepsi publik yang negatif terhadap lembaga legislatif.
Kedua, kita perlu merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XVII/2019 sebagai yurisprudensi dalam membuat kebijakan politik hukum bagi pemilihan DPR pada Pemilu 2024, yang secara tegas mengamanatkan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Serta perlu melihat putusan hukum apabila ada pencabutan hak politik, serta pidana tambahan lainnya, khususnya bagi tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika.
“Ketiga, perlunya lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU-RI, Bawaslu RI, dan DKPP untuk melakukan tracing atas persyaratan tersebut, dan mendorong kualifikasi dapat dilakukan agar calon DPR mantan narapidana tidak dapat maju dalam kontestasi,”imbuhnya.
Hal ini merupakan kewajiban bagi partai politik pengusung untuk melakukan “fit and proper” dan menjalankan sistem integritas partai politik (SIPP) dalam melakukan pengecekan terhadap caleg-nya, walaupun kemungkinan terakhir ini sangat kecil peluangnya.
Keempat, mendorong pengawasan dan partisipasi publik agar dapat menandai dan kampanyekan calon DPR mantan narapidana, khususnya narapidana korupsi untuk tidak ikut kontestasi kembal.
“Ekspresi satire Bintang Emon, atau konten kreatif di media sosial terbukti sangat ampuh dalam melakukan “naming and shaming”, terhadap calon anggota legislatif mantan narapidana yang bebal dan tetap ikut berkontestasi,”tutup Satria.
(0) Komentar