Ilustrasi gambar (liputan 6)
Beberapa hari lalu media sosial dihebohkan dengan puluhan siswi SMP di Bengkulu Utara yang menyayat tangan menggunakan silet. Selain trend di media sosial, faktor lingkungan dan krisis identitas menjadi latar belakang atas aksi yang dilakukan para pelajar tersebut.
Dosen Fakultas Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UM Surabaya Uswatun Hasanah menyebut hal tersebut berkaitan dengan self harm atau bentuk perilaku menyakiti diri sendiri yang disebabkan berbagai macam tekanan psikologis yang dialami oleh individu.
Uswatun menyebut, perilaku ini umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda yang berada pada masa transisi dimana mereka dituntut untuk mampu beradaptasi dalam berbagai situasi baru yang asing. Fenomena self harm sampai saat ini semakin meningkat, sudah menjadi sebuah kewajaran bahkan bagi sebagian besar remaja hal tersebut dianggap sebagai solusi mutlak untuk menyelesaikan masalah atau meluapkan emosi dalam diri.
“Tentu saja penyelesaian masalah dengan menyakiti diri sendiri tidak dibenarkan dan bukan merupakan solusi yang tepat,”tegas Uswatun Jumat (17/3/23)
Ia menyebut, individu memiliki beberapa alasan dan memiliki tujuan saat melakukan self harm dimana mereka berharap dengan melakukan hal tersebut dapat membantu mengelola masalah emosional, mengurangi ketegangan, memberikan rasa sakit fisik sehingga teralihkan dari tekanan emosionalnya, mengekspresikan emosi baik berupa marah, sakit hati dan frustasi, sebagai bentuk pelarian, bentuk kendali diri atas perasaanya, dan untuk meendapatkan perhatian orang lain.
Uswatun menegaskan, orang tua maupun lingkungan sekitar individu dengan kecenderungan perilaku self harm harus aware dan betul betul mengenali gejala self harm yang dialami remaja, hal yang perlu diperhatikan diantaranya yaitu secara verbal lebih banyak diam, tidak mampu mengungkapkan perasaan, mengungkapkan tentang keputusasaan dan ketidakberdayaan, menunjukkan perilaku sulit menjalin hubungan dengan orang lain, perilaku dan emosi yang berubah dengan cepat dan impulsif, intens, dan tidak terduga, melukai diri dengan sengaja, menggosok area secara berlebihan untuk membuat luka bakar, menyimpan benda tajam atau barang lain yang digunakan untuk melukai diri sendiri di tangan, berusaha menyembunyikan bekas luka dengan mengenakan baju lengan panjang atau celana panjang, sering melaporkan tentang cedera atau luka yang tidak disengaja. Secara fisik perlu diamati adanya bekas luka, seringkali berbentuk pola tertentu, adanya luka baru, goresan, memar, bekas gigitan atau luka lainnya.
“Perilaku self harm ini perlu diwaspadai karena tanpa disadari jika terus terjadi akan mengarah pada gangguan psikologis atau yang dikenal dengan perilaku Nonsuicidal Self Injury (NSSI),”imbuh Uswatun lagi.
Uswatun menambahkan, hal sederhana yang bisa dilakukan anggota keluarga, khususnya orangtua jika mendapati anak atau orang terdekat menunjukkan gejala atau perilaku self harm maka harus dirangkul, dengan memberikan perhatian, memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan perasaannya, berusaha untuk tidak menghakimi apa yang anak lakukan, meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan positif bersama, mencoba mencari informasi terkait perilaku self harm agar mendapatkan panduan penanganan yang tepat.
“Jangan membiarkan yang bersangkutan mengurung diri, sediakan lingkungan yang aman dan nyaman, bekerjasama dengan sekolah atau support system lain disekitar individu dan menanamkan nilai-nilai keagamaan yang cukup,”tegas Uswatun lagi.
Menurutnya, lingkungan sekolah dapat membantu menangani masalah self harm dengan membangun hubungan yang positif antara guru, staf sekolah dan murid, guru harus memiliki kepedulian, kepekaan dan pemahaman yang baik terkait masalah kesehatan jiwa siswa.
(0) Komentar