Ilustrasi gambar (Shutterstock)
Kebijakan Pemkot Surabaya menghapus Pekerjaan Rumah (PR) bagi pelajar SD dan SMP hingga hari ini menjadi perdebatan berbagai pihak. Kelompok yang setuju merasa lega karena menganggap PR memiliki andil besar dalam meningkatkan kompetensi siswa. Sementara yang sepakat dihapus merasa bahwa PR sesungguhnya membebani siswa.
Ramainya kasus tersebut ditanggapi langsung oleh Sri Lestari Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UM Surabaya. Menurut Tari perdebatan tentang penting atau tidaknya PR sesungguhnya bukan hal baru. Tidak heran kebijakan tersebut menjadi problematik bagi masyarakat. Bahkan di kalangan pendidik pun terbelah menjadi kelompok setuju dan tidak setuju.
“Perlu atau tidaknya memberikan PR seharusnya menjadi tanggung jawab pendidik/guru untuk menentukan. Karena memang PR bisa digunakan sebagai pertimbangan untuk pembelajaran,”tutur Tari Jumat (21/10/22)
Sementara itu, waktu tatap muka yang terbatas dengan beban kompetensi yang dicapai dianggap kurang, maka PR bagi guru dinilai menjadi jalan pintas.
Tari yang merupan Dosen Pendidikan Bahasa Inggris menjelaskan, ada beberapa aspek pertimbangan yang sebaiknya digunakan sebagai indikator memberikan pekerjaan rumah, di antaranya: pekerjaan rumah dapat dinilai penting jika hasil evaluasi guru menunjukkan bahwa ternyata PR terbukti dapat meningkatkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan siswa. Jika tidak, maka perlu dipertimbangkan lagi tentang jenis tugas yang diberikan.
Tari menekankan, PR sebaiknya tidak membebani siswa ataupun menganggu waktu bermain dan istirahat mereka. Penelitian menyarankan untuk tidak memberikan PR yang memakan waktu lebih dari dua jam setengah bagi siswa untuk mengerjakannya.
“Tipe PR juga perlu dipertimbangkan dan sebaiknya yang menekankan pada kerja mandiri, menekankan kompetensi berpikir kritis dan kreatifitas, serta memastikan seminimal mungkin orang tua terlibat untuk membantu mengerjakan,”imbuhnya lagi.
Menurutnya, pendidik tidak boleh menganggap bahwa pekerjaan rumah menjadi aspek lulus atau tidaknya siswa dalam pembelajaran. PR perlu dianggap sebagai penilaian formatif yang tidak menentukan pintar atau tidaknya siswa.
Ia mengibaratkan atlet yang bertanding dalam kompetisi, pekerjaan rumah hanyalah alat untuk mengasah kemampuannya, bukan menentukan dia menang atau tidak dalam sebuah pertandingan.
Jadi, pekerjaan rumah sebaiknya tidak perlu dinilai dan tidak perlu ada hukuman bagi siswa jika tidak mengerjakannya. Sehingga, pekerjaan rumah sebenarnya berguna untuk menentukan strategi atau teknik pembelajaran, bukan menentukan siswa lulus atau tidak, apalagi pintar atau bodoh.
“Selain itu, penting untuk memberikan feedbak (balikan) pada PR siswa. Jadi, membiarkan siswa mempresentasikan dan mendapatkan saran atau kritik dan guru atau teman itu hal yang penting sebagai bentuk proses mereka belajar,”pungkas Tari.
(0) Komentar