Ilustrasi gambar (Tribunnews)
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menimbulkan polemik, salah satunya memasukkan tindak pidana korupsi (Tipikor) ke dalam RKUHP.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya Satria Unggul Wicaksana turut memberikan tanggapan dan beberapa catatan.
Pertama, Satria menyebut hadirnya UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan antitesa dari praktik korupsi di era orde baru, hal ini sejalan dengan merupakan implikasi hukum dari diterbitkannya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dan TAP MPRS Nomor VIII/MPR/2001.
Dan kemudian melahirkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dimana selama era orde baru, diterbitkannya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dan TAP MPRS Nomor VIII/MPR/2001. Sehingga, UU Tipikor merupakan lex specialist yang harusnya menjadi porsi prioritas daripada mengaturnya kembali dalam RKUHP sebagai lex Generalist
“Kedua, hal ini tentu memperberat posisi lembagai pasca-reformasi seperti KPK-RI dalam menjalankan kewenangan pemberantasan korupsi, karena kita memahami lahirnya KPK melalui UU No.30 tahun 2022 spiritnya adalah menjaga akuntabilitas dan komitmen pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian RI maupun Kejaksaan RI cukup lemah,”tutur Satria Selasa (6/12/22)
Ketiga, menurut Satria yang juga dosen Fakultas Hukum UM Surabaya, terdapat berbagai kejanggalan dalam rumusan tipikor pada RKUHP, misalkan pada pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.
“Aturan ini ternyata memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun, menjadi 2 tahun penjara. Tidak cukup itu, denda minimalnya pun serupa, turun dari Rp 200 juta menjadi hanya Rp 10 juta,”imbuhnya lagi.
Menurut penjelasannya, lali Pasal 608 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Sekalipun pidana badan mengalami kenaikan dari 1 tahun menjadi 2 tahun penjara, namun tidak sebanding dengan subjek hukum pelaku, yakni pejabat publik. Ini sekaligus upaya menyamakan hukuman antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik tertentu.
Termasuk, Pasal 610 ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor. Hampir serupa dengan ketentuan lain, hukuman yang ditujukan kepada penerima suap ini pun mengalami penurunan, dari 5 tahun menjadi 4 tahun penjara. Untuk hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta.
“Ini tentu mereduksi semangat pemberantasan korupsi yang selama ini terbangun pasca-reformasi, dan menjadi titik mundur dalam mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi,”tegasnya.
Keempat, rumusan merugikan keuangan negara pada Pasal 607 RKUHP bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Bagaimana tidak, Mahkamah dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain, bahkan juga bisa membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut.
“Dengan dasar putusan ini, menjadi jelas jika dikatakan RKUHP bertentangan dengan putusan MK, dan akan menjadi bias dalam menentukan keuangan negara,”tegas Satria lagi.
Dari 4 point yang dijelaskan, RKUHP pada pasal-pasal berkaitan dengan Tipikor seharusnya tidak perlu dimasukkan, bahkan seharusnya pemerintah semakin mempercanggih UU Tipikor untuk mengadopsi dan menerapkan ketentuan dan jenis baru tindak pidana korupsi yang diakui masyarakat internasional dalam Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC).
“Bukan justru melakukan langkah mundur dengan merumuskannya dalam RKUHP yang spiritnya mereduksi semangat pemberantasan korupsi di Indonesia,”tukas Satria.
(0) Komentar