Tangkapan Layar Tik-Tok
Pemberian gelar doktor kehormatan alias Doktor Honoris Causa (HC) dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand kepada artis Raffi Ahmad menjadi perbincangan warganet. Banyak yang menganggap pemberian gelar ini sebagai formalitas tanpa dasar akademik yang kuat.
Kementerian Pendidikan, Kebudyaaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) merespons polemik kampus Universal Institute of Professional Management (UIPM) pemberi gelar doktor kehormatan atau honoris causa (HC) kepada artis Raffi Ahmad yang belakangan disorot. UIPM dipastikan tidak memiliki izin operasional di Indonesia.
Satria Unggul Wicaksana Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengatakan, polemik pemberian gelar honoris causa marak terjadi di Indonesia. Pada perkembangan terbaru Permendikbudristek 44/2024 mengatur pemberian gelar doktor honoris causa (HC) atau profesor kehormatan. Aturan ini membatasi jumlah profesor kehormatan yang boleh diberikan kampus dan memperketat prosedur pengangkatan profesor kehormatan.
“Pada kasus Raffi Ahmad ini menjadi tanda bahwa problem itu tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga ada upaya-upaya dari kampus asing, disinilah penting untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ada berkaitan dengan integritas akademik itu sendiri,”ujar Satria Selasa (8/10/24)
Menurutnya, kampus tidak akan mendapatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang memadai, apabila kampus yang menjadi tulang punggung dan diandalkan menggunakan cara- cara yang culas dan tidak baik.
“Titik puncak dari problem doktor, professor honoris causa yang menjamur yang diberikan kepada politisi, pengusaha, selebriti ini kesannya transaksional di masyarakat. Padahal fungsi kampus adalah sebagai benteng dari kejujuran, benteng kebenaran,”imbuhnya.
Satria menjelaskan, integritas akademik menjadi persoalan yang sangat krusial di kampus-kampus di Indonesia, gelar doktor dan profesor abal abal yang kemudian menggunakan cara-cara mencurangi integritas akademik semakin marak terjadi .
“Kasus yang terjadi pada Lambung Mangkurat adalah satu diantara banyaknya fenomena gunungnya es di Indonesia, penggunaan jurnal abal-abal, pemalsuan data dan praktik-praktik inilah yang menjadi contoh betapa krisisnya problem integritas akademik,”imbuhnya.
Menurutnya, upaya untuk mengatasi problem terletak pada political will yang dilakukan pimpinan perguruan tinggi. Satria menegaskan politik will menjadi modal yang sangat penting dalam memutus mata rantai suplay dan demand, karena ini berkaitan sejauh mana upaya civitas untuk memberikan control eksternal.
“Kalau kampus obral gelar jabatan, ini akan sangat berbahaya, terutama kepercayaan masyarakat terhadap integritas, juga dampaknya pada reputasi perguruan tinggi di mata internasional.”imbuhnya lagi.
Ia menegaskan, seseorang yang akan diberi gelar ini adalah kandidit yang betul-betul memiliki rekam jejak yang panjang dalam ilmu pengetahun dan kemanusiaan.
(0) Komentar