Pakar Hukum UM Surabaya Ungkap 3 Persoalan Kasus Wadas

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Pakar Hukum UM Surabaya Ungkap 3 Persoalan Kasus Wadas
Gambar Artikel Pakar Hukum UM Surabaya Ungkap 3 Persoalan Kasus Wadas
  • 11 Feb
  • 2022

Foto : tangkapan layar Instagram @wadas_melawan

Pakar Hukum UM Surabaya Ungkap 3 Persoalan Kasus Wadas

Direktur Pusad Studi Anti Korupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Satria Unggul Wicaksana menanggapi kasus penolakan pembangunan Bendungan Beres di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dalam keterangan tertulis Satria menjelaskan ada 3 persolan yakni agraria, pemidanaan warga ,hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Satria menjelaskan protes yang dilakukan warga Desa Wadas terhadap penambangan batuan andesit untuk proyek pembangunan Bendungan Bener, Purworejo merupakan hak-hak konstitusional, dijamin oleh UUDNRI Tahun 1945 dan jelas bukan merupakan pelanggaran hukum.

“Pengerahan pasukan besar-besaran tanpa alasan yang jelas, intimidasi, serangkaian tindak pemukulan, perampasan, perusakan yang dilakukan aparat, penangkapan sewenang-wenang, penghalang-halangan tim kuasa hukum mendampingi warga, pemadaman listrik dan jaringan internet termasuk peretasan Instagram LBH Yogyakarta justru bentuk bekerjanya penegakan hukum represif, tidak hanya melanggar hukum, melainkan pula melanggar hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi dan perundang-undangan,”ungkap Satria Jumat (11/2/22).

Satria menegaskan protes warga terhadap rencana pembangunan Bendungan Bener harus direspon pemerintah dengan meninjau kembali rencana pembangunan proyek berdasarkan keberatan warga bukan dengan melakukan berbagai tindakan represif.

Ia menilai Gubernur Jawa Tengah dan Kapolda Jawa Tengah harus bertanggung jawab atas semua tindakan melanggar hukum yang telah dilakukannya. Tak terkecuali, mendesak Kapolda Jateng segera menarik seluruh pasukan dari Desa Wadas dan bekerja secara professional, berintegritas, patuh pada prinsip-prinsip Negara Hukum demokratis. Intimidasi di lapangan, dalam segala bentuknya harus dihentikan, karena tak sejalan dengan perlindungan hak atas rasa aman.