Pakar Hukum UM Surabaya Paparkan 5 Alasan Mengapa Kenaikan Harga BBM Tidak Tepat

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Pakar Hukum UM Surabaya Paparkan 5 Alasan Mengapa Kenaikan Harga BBM Tidak Tepat
Gambar Artikel Pakar Hukum UM Surabaya Paparkan 5 Alasan Mengapa Kenaikan Harga BBM Tidak Tepat
  • 05 Sep
  • 2022

Ilustrasi gambar (Shutterstock)

Pakar Hukum UM Surabaya Paparkan 5 Alasan Mengapa Kenaikan Harga BBM Tidak Tepat

Harga BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar resmi naik pada Sabtu (3/9/2022) kemarin. Pengumuman kenaikan ini disampaikan pemerintah melalui konferensi pers yang dilakukan Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersama sejumlah menterinya melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Presiden Jokowi menyatakan anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun rupiah dan itu akan meningkat terus. Dan lagi lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi.

Satria Unggul Wicaksana dosen sekaligus Pakar Hukum UM Surabaya menegaskan semestinya uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu dan saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit.

Dalam keterangan tertulis Satria menyebut kenaikan harga BBM tidak tepat dengan berbagai alasan.

Pertama, Pemerintah seharusnya mempertimbangkan dengan betul kebijakan menarik subsidi ini, karena akan terjadi lonjakan harga yang besar bagi beberapa kebutuhan pokok di masyarakat, termasuk akan mempengaruhi situasi politik-ekonomi yang terjadi, karena mandat Konstitusi Pasal 33 (3) UUD 1945, negara diminta mengatur aspek bumi,air,mineral untuk kesejahteraan rakyat, termasuk dalam kaitan ini berkenaan dengan BBM.

“Apalagi kondisi ekonomi beranjak pulih pasca pandemi covid-19, pertimbangan stabilitas ekonomi harus jadi pertimbangan utama,”tutur Satria Senin (5/9/22)

Kedua, alasan subsidi tidak tepat sasaran karena diberikan kepada orang mampu dengan pendapatan per-kapita sebesar lebih dari Rp.450.000,- tiap bulan juga tidak tepat, karena harus didukung dengan data transparan dan akuntabel, serta klasifikasi masyarakat mampu dengan penghasilan 500 ribu apakah dianggap tepat jika disebut mampu.

Ketiga, pengalihan subsidi menjadi bansos kepada warga tidak mampu sebesar 150 ribu tiap bulan serta penghasilan dalam pra-kerja juga bukan solusi yang solutif, pemerintah harus membuat kajian mendalam dengan petimbangan kebijakan yang berkelanjutan untuk mengatasi problem kemiskinan baru pasca bantuan sosial diberikan.

Keempat, pemerintah harus pada komitmen pertumbuhan ekonomi hijau. Artinya kalau subsidi bbm dicabut/dialihkan, seharusnya dibarengi dengan pembatasan produksi/impor Low Coast Green Car (LCGC) dan over-vehicle yang justru menjadi beban negara, insentif terhadap kendaraan listrik harus menjadi opsi, agar apologis bahwa subsidi bbm tidak tepat sasaran tidak terjadi

Kelima, jika subsidi dialihkan ke pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), tentu hal tersebut tidak tepat dan menjadi ambisi politik yang korbankan hak dasar warga negara Indonesia.

“Pemerintah seharusnya tidak memaksakan upaya membangun IKN tersebut ditengah kondisi krisis ekonomi, apalagi mengalihkan subsidi BBM, dan berbagai pungutan pajak yang justru memperberat beban warga negara,”tandas Satria.