Mengapa setelah Bersikap Rasis terhadap Papua, Orang Baru Sadar dan Cenderung Mengingkari Sikapnya, Ini Kata Dosen UM Surabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Mengapa setelah Bersikap Rasis terhadap Papua, Orang Baru Sadar dan Cenderung Mengingkari Sikapnya, Ini Kata Dosen UM Surabaya
Gambar Artikel Mengapa setelah Bersikap Rasis terhadap Papua, Orang Baru Sadar dan Cenderung Mengingkari Sikapnya, Ini Kata Dosen UM Surabaya
  • 14 Mei
  • 2022

Ilustrasi gambar (Shutterstock)

Mengapa setelah Bersikap Rasis terhadap Papua, Orang Baru Sadar dan Cenderung Mengingkari Sikapnya, Ini Kata Dosen UM Surabaya

Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, sikap rasisme terhadap yang berbeda mengemuka ke publik dan memicu kontroversial. Dari ungkapan menteri memindah pegawai bermasalah ke Papua, tulisan di sosial media seorang guru besar sekaligus rektor yang menyebut manusia gurun dan yang terbaru dilakukan oleh seorang politisi senior lewat unggahannya yang bernada rasis terhadap identitas Papua.

Merespon hal tersebut, Radius Setiyawan, dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengungkapkan sebuah fenomena bahwa kebanyakan perilaku atau ungkapan rasis yang akhir-akhir ini banyak dibantah oleh pelakunya dengan berbagai dalih. Apalagi ketika hal tersebut memicu kontroversial di publik.

"Perilaku atau ucapan rasis yang sebenarnya sudah sangat jelas ada kecenderungan dibantah dengan dalih beragam. Orang bersikap begitu bisa jadi karena rasa emosi kepada orang lain sehingga mengeluarkan makian rasis, bisa jadi keseleo lidah atau berbagai motif lain,"ungkap Radius dalam keterangan tertulisnya.Sabtu (14/05/2022)

Radius menegaskan bahwa berbagai motif di atas tentunya tidak selayaknya kita anggap sesuatu hal yang wajar atau kita maklumi. Justru kondisi tersebut memprihatinkan. Sikap rasis bisa jadi sudah mendarah daging dan berada di alam bawah sadar kita. Ungkapan ketidaksukaan terhadap yang berbeda atau dianggap melanggar dengan mudah diekpresikan dengan melabeli orang tersebut dengan identitas suku atau ras tertentu yang dianggap rendah.

"Ada kecenderungan membantah karena seringkali orang mengungkapkan sikap rasis dalam kondisi emosional atau di luar kontrol. Kalau level rasis sudah berada di level tersebut, tentunya itu alarm berbahaya bagi keberagaman kita,"ujar Radius yang menjadi pengampu mata kuliah Cross Culture Understanding (CCU)

Radius yang merupakan alumnus Kajian Budaya dan Media UGM juga menjelaskan bahwa pembentukan informasi dalam diri manusia yang penuh dengan labeling atau stereotype tentunya sesuatu hal yang bermasalah. Dalam konteks Indonesia, hal tersebut terbentuk tentunya terkait dengan berbagai faktor. Dari persoalan sejarah politik, relasi masa lalu yang tidak setara hingga jejak-jejak kolonialisme.

"Stereotype atas Papua menjadi contoh bagaimana sikap rasis seringkali mengemuka di ruang publik kita. Stereotype tersebut sudah terbentuk lama sehingga cenderung membuat seseorang tidak melakukan proses berpikir panjang, hati-hati, atau sistematis ketika mengeluarkan perilaku rasis,"ungkap Radius yang juga mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial Universitas Airlangga konsentrasi komunikasi.

Radius juga menambahkan bahwa bekal pengetahuan atau wawasan yang diperoleh sedari kecil menjadi jalan pintas individu dalam memberikan label atau stereotype pada orang yang berbeda. Dalam sejarah Indonesia sikap rasis terhadap Papua tentunya mempunyai akar sejarah.

"Sejarah penaklukan Papua di masa lalu mempunyai dampak terhadap bagaimana kita menganggap Papua hari ini. Kolonialisme negara menjadi pemicu atas situasi tersebut, sehingga anggapan terhadap masyarakat kulit hitam ditempatkan masih sebagai makhluk yang belum dewasa (mature), terbelakang, bodoh dan layak untuk dijadikan hinaan atau lelucon. Khas cara berpikir kolonial,"tukasnya.