Mengapa Rasisme Kerap Terjadi di Ruang Publik Kita, Ini Kata Dosen UM Surabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Mengapa Rasisme Kerap Terjadi di Ruang Publik Kita, Ini Kata Dosen UM Surabaya
Gambar Artikel Mengapa Rasisme Kerap Terjadi di Ruang Publik Kita, Ini Kata Dosen UM Surabaya
  • 17 Apr
  • 2022

Ilustrasi gambar International Youth Championship (IYC) 2021 di Jakarta International Stadium (Dok: ANTARA FOTO)

Mengapa Rasisme Kerap Terjadi di Ruang Publik Kita, Ini Kata Dosen UM Surabaya

Pertandingan International Youth Championship (IYC) di Jakarta International Stadion (JIS) dalam laga Atletico Madrid U18 melawan Bali United U18 diwarnai aksi rasisme hingga seksisme dari penonton. Aksi yang tak patut ditiru dan menuai banyak kecaman tersebut menarik perhatian Dosen UM Surabaya Radius Setiyawan untuk memberikan tanggapan.

Dalam keterangan tertulis, Radius menjelaskan dalam konteks Indonesia. Perilaku atau ucapan rasisme sering terjadi di Indonesia.

“Selalu saja terulang, lagi-lagi ruang publik kita dikotori tindakan rasis. ”tutur Radius Minggu (17/4/22)

Radius juga menyebutkan bahwa perlakukan rasis kerap mengotori ruang publik di Indonesia. Dalam rentan waktu yg tidak terlalu lama terjadi beruntun. Perlakuan rasisme terhadap Obby Kogoya di tahun 2016. Persekusi pada mahasiswa Papua di Surabaya di tahun 2019, aksi rasisme terhadap youtuber Papua, ungkapan salah satu Menteri yang mengancam ASN yang tidak cekatan dalam bekerja untuk di mutasi di Papua.

Dan yang rasanya baru saja terjadi kemarin yang dialami oleh pemain dan pelatih asal Papua, Rivaldo Wally dan Ardiles Rumbiak. Kejadian tersebut terjadi pada babak 32 besar liga 3 antara Belitong FC versus Persikota Tangerang.

"Dalam konteks Indonesia, sasaran rasisme biasanya menyasar orang dengan kulit berwarna atau hitam. Yang paling sering menimpa saudara-saudara kita di Papua,” imbuh Radius yang juga Alumnus S2 Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada.

Menurutnya wacana kolonial tidak bisa dilepaskan dalam kejadian tersebut, masyarakat kulit hitam ditempatkan masih sebagai makhluk yang belum dewasa (mature), terbelakang, bodoh dan layak untuk dijadikan hinaan atau lelucon. Khas cara berpikir kolonial.

Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan persoalan rasisme yang terjadi hari ini belum menjadi perhatian utama negara ini, sehingga bisa dipastikan akan ada aksi konyol merendahkan bahkan menghina etnis lain di ruang publik.

“Mental rasis mengendap sekian lama dan mengharuskan kita selalu memiliki keinginan untuk menghina dan bahkan menundukkan siapa saja yang dianggap rendah. Ini persoalan akut bangsa ini,”tegas Radius.

Sementara itu, modal utama menjadi negara demokratis adalah pengakuan atas kesamaan dari segala macam perbedaan. Indonesia yang multikultur tidak akan bisa besar jika hambatan-hambatan seperti rasisme tetap ada dan cenderung dibiarkan. Kemanusiaan  harus menjadi nilai utama dalam membangun ke-Indonesiaan.

“Masyarakat kulit apapun harus di posisikan sebagai bangsa yang sama dan mempunyai hak yang sama pula,”ujarnya.

Di akhir keterangannya ia menegaskan peran negara harus hadir mengurai masalah serius tersebut. Membangun cara pandang baru melalui pendidikan dan budaya. Karena kalau dibiarkan saja. Ruang publik kita akan tercemar dengan aksi-aksi rasis yang memalukan.