Ilustrasi gambar (Shutterstock)
Gita Savitri lagi-lagi membuat heboh media sosial, usai membuat pengakuan mencengangkan perihal memiliki momongan. YouTuber yang kini menetap di Jerman itu, mengungkapkan bahwa childfree atau tidak memiliki anak menjadi salah satu cara alami yang dinilai ampuh untuk mencegah anti penuaan alias awet muda.
Ramainya kasus Gita Savitri dan imaji awet muda di masyarakat menarik sejumlah orang untuk memberikan tanggapan, salah satunya dosen pengampu mata kuliah kajian media di UM Surabaya, Radius Setiyawan. Radius menyebut obsesi awet muda dipengaruhi oleh standar budaya yang terbentuk di masyarakat, utamanya melalui media massa, media sosial hingga iklan-iklan kecantikan.
Radius menjelaskan, bahwa asumsi dasar dari keinginan untuk tetap awet muda meski di usia yang tidak lagi muda berangkat dari anggapan bahwa kaum muda itu lebih menarik, diinginkan, dan cantik atau ganteng. Sedangkan usia tua dianggap sebagai buruk, tidak menarik, dan jelek.
“Itulah mengapa menjadi tua adalah kondisi yang tidak diinginkan dan harus dilawan dengan usaha-usaha keras meski harus mengeluarkan dana yang relatif besar sekalipun,”jelas Radius Kamis (8/2/23)
Ia juga menyebut fenomena obsesi awet muda berkaitan dengan lookism atau tampilanisme. Lookism dipahami sebagai tindak diskriminasi terhadap perempuan atau laki-laki yang bersumber dari ekspektasi kecantikan. Lookism adalah usaha tetap tampil menarik seperti yang dikonstruksi oleh media salah satunya.
“Diskriminasi tersebut kerap kali terjadi lebih banyak pada perempuan yang merasa dirinya insecure dan anxious jika dia tidak bisa tampil cantik layaknya konstruksi dominan,”jelas Radius lagi.
Tetap tampil menawan, energik di usia matang, berkulit putih,bertubuh langsing dan kencang merupakan sebuah kondisi yang sangat mungkin diinginkan banyak orang. Implikasi dari hal tersebut tentu dapat mendiskriminasi.
Menurutnya hal tersebut banyak dijumpai pada realitas masyarakat urban. Di mana banyak dari mereka berusaha untuk menjaga kulit dan tubuh mereka agar tetap awet muda. Hal tersebut tentunya bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
“Orang harus berjuang menjaga pola makan, olahraga, dan mengonsumsi krim anti-aging (anti penuaan). Sebuah usaha yang diakui ataupun tidak sebagai sesuatu hal yang menyiksa. Usaha-usaha untuk mempertahankan tampilan tersebut kerap kali mendiskriminasi. Baik laki-laki maupun perempuan”imbuhnya.
Ia kembali menjelaskan, bahwa obsesi awet muda adalah bagian dari kompetensi kultural yang digunakan untuk melegitimasi perbedaan-perbedaan sosial. Hal ini berfungsi membuat distingsi sosial.
“Sehingga bisa tampil muda adalah upaya dari kemampuan untuk mengkonversi kapital ekonomi kepada kapital simbolik. Kekuatan ekonomi yang dipunyai mampu membuat perempuan kelas tertentu memperoleh pengakuan tetap tampil muda,”tandas Radius yang merupakan master kajian budaya dan media.
(0) Komentar