Ilustrasi gambar (freepik)
Kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada ternak yang muncul di Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, menjadi bahan pembicaraan berbagai kalangan, baik masyarakat awam umum, intelektual maupun pemerintah. Di Indonesia telah ditemukan kasus PMK di 6 daerah, antara lain 2 daerah di Provinsi Aceh dan 4 daerah di Jawa Timur.
Wiwi Wikanta Dosen Biologi UM Surabaya menjelaskan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang ternak berkuku belah atau Artiodactyla dalam istilah Biologi, seperti sapi, babi, domba, kambing dan ruminansia lain, merupakan penyakit virus ternak yang parah dan sangat menular. Virus penyebab PMK ini adalah Virus Foot Mouth Disease (FMDV) yang termasuk ke dalam golongan genus Aphthovirus dan famili Picornaviridae.
Menurut Wiwi munculnya kembali kasus PMK belakangan ini menimbulkan keresahan bukan saja pelaku ekonomi seperti peternak, pedagang dan pengolah daging ternak, khususnya sapi, tetapi juga masyarakat konsumen.
“Keresahan konsumen yang muncul di masyarakat terhadap wabah PMK ini adalah adanya kekhawatiran mengkonsumsi daging berdampak terhadap kesehatan. Hal ini sangat beralasan, karena banyak penyakit ternak yang tidak hanya menyerang ternak tetapi juga dapat menular kepada manusia atau yang disebut penyakit zoonosis,”Jelas Wiwi Senin (16/5/22)
Dalam keterangan tertulis Wiwi menjelaskan kasus PMK dapat dikenali dari gejala klinis yang terlihat segera setelah berlangsungnya viraemia, sapi memperlihatkan gejala demam tinggi dan dalam 12 – 24 jam timbul vesikel atau lepuh yang khas pada lidah, moncong, lubang hidung, mulut dan kaki. Salivasi yang berlebihan dan sapi terlihat tidak mau berdiri atau sulit berjalan.
Ia juga menegaskan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada ternak tidak menular kepada manusia atau bukan Zoonosis. Hal ini dipertegas pendapat BBVet Maros dari hasil suveillance menunjukkan bahwa antibodi yang mulai berkembang setelah 5 – 14 hari akan menghilangkan virus PMK dalam darah dan jaringan, sehingga probabilitas virus dalam karkas menjadi rendah.
“Walaupun demikian, anjuran tidak mengkonsumsi bagian mulut, kaki dan organ dalam (jerohan) dari ternak yang terinfeksi FMDV perlu dipertimbangkan,”katanya lagi.
Hal ini didasarkan pada fakta bahwa beberapa gejala klinis menunjukan secara khusus lepuh-lepuh berupa penonjolan bulat yang berisi cairan limfa pada lidah, bibir bagian dalam dan gusi; lepuh primer mulai terlihat 1-5 hari setelah infeksi serta luka pada kaki; kelainan pasca mati adanya lepuh dan erosi terlihat pada rumen, retikulum, omasum; pada anak sapi, kambing, kerbau dan babi seringkali ditemukan kelainan pada jantung berupa sarang-sarang berwarna kuning keabu-abuan yang mempunyai gambaran garis-garis.
Upaya dalam menangkis kekhawatiran bagi masyarakat dengan mewabahnya PMK di Indonesia dapat dilakukan secara sistematik dan berkelanjutan melalui pendidikan.
Secara sistematik, pendidikan dapat dilakukan kepada semua pihak berkepentingan, seperti masyarakat peternak, pelaku bisnis, dan konsumen. Secara berkelanjutan, pendidikan dilakukan secara komprehensip dan berjenjang, baik formal maupun non formal. Materi pendidikan dapat meliputi: pengertian penyakit, macam penyakit, gejala, penyebab, dan pencegahan serta pengobatannya. Dengan demikian, setiap munculnya wabah penyakit dapat dipahami, disikapi, dan ditindaklanjuti oleh masyarakat dengan bijak dan benar.
“Konsumen, dalam hal ini konsumen rumah tangga dan pelaku bisnis daging (rumahan, catering, restoran, dan produsen olahan), jika memiliki pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang berbagai penyakit, maka tidak akan mudah termakan isu yang tidak benar (hoaks), sehingga tidak akan terjadi keresahan dan kepanikan,”jelas Wiwi dalam keterangan tertulis.
Selanjutnya ia menambahkan khusus bagi masyarakat peternak, perlu pendidikan dan pelatihan pengolahan limbah kotoran ternak, misalnya pembuatan pupuk kompos dan biogas. Hal ini mengingat bahwa penularan PMK dapat melalui cairan lepuh, pernafasan, air susu, kontak langsung dengan hewan penderita, ekskresi, semen dan alat kendang.
Limbah kotoran ternak, selain berpotensi memperparah penularan PMK di antara hewan ternak, juga dapat mencemari lingkungan. Limbah kotoron sapi (teletong dan urine) kalau tidak diolah atau di daur ulang akan berpotensi menganggu dan mencemari lingkungan. Menurut penelitian kotoran ternak dapat menghasilkan NH3 (gas amonia) yang apabila bersatu dengan debu dalam jangka waktu lama akan menyebabkan beberapa penyakit yang terkait dengan paru-paru dan pada konsentrasi tinggi akan menurunkan daya tahan ternak.
Penerapan teknologi budidaya ternak yang ramah lingkungan dapat dilakukan melalui pemanfaatan limbah pertanian yang diperkaya nutrisinya serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk organik dan biogas dapat meningkatkan produktivitas ternak, peternak dan perbaikan lingkungan.
“Usaha peternakan ke depan harus dapat dibangun secara berkesinambungan sehingga dapat memberikan kontribusi pendapatan yang besar dan berkelanjutan,”tukasnya.
(0) Komentar