Ilustrasi gambar gangster (Foto: Suara Surabaya)
Pakar Media UM Surabaya Radius Setiyawan menanggapi tren gangster atau gerombolan anak muda yang menenteng senjata tajam dan pamer di media sosial. Radius menyebut perilaku gangster remaja lebih banyak bergeser menjadi aktivitas mengekspresikan sikap subkultur dan antisosial yang menyimpang dan berujung pada kriminalitas.
“Gangster bukan fenomena yang baru di kota. Kemudahan akses informasi, ekonomi dan hal lain membuat fenomena tersebut kerap hadir. Hal tersebut adalah kriminalitas urban,”jelas Radius Selasa (14/3/23)
Radius menyebut, aksi yang banyak didominasi anak kategori remaja harus dimaknai sebagai kenakalan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Remaja yang menyukai hal baru, ambisius dan suka tantangan harus disalurkan ke ruang-ruang publik yang memadai dan tepat. Sikap tersebut adalah sebuah keniscayaan yang dibutuhkan kebanyakan anak remaja untuk menunjukkan identitas sosialnya. Persoalannya adalah bagaimana ekspresi mereka itu tidak berpotensi menjadi aksi anarkis dan berujung pada kriminalitas.
“Fenomena gangster yang terjadi akhir-akhir ini menandakan kurang tersedianya akses ruang-ruang publik untuk remaja dalam menyalurkan kreativitas di usia produktifnya,” kata Radius.
Pada beberapa temuan, mereka yang terlibat aktivitas gangster yang mengarah kriminalitas tidak banyak memiliki pilihan untuk dapat menggunakan ruang secara bebas.
Radius mencontohkan, beberapa persoalan ruang publik yang banyak dijumpai diantaranya: ruang olah raga, ruang belajar, ruang berjejaring hingga ruang komunitas bagi remaja yang susah diakses oleh kelas bawah.
“Dalam banyak kasus, ruang-ruang tersebut mengalami privatisasi. Dikelola oleh swasta dan dikenakan biaya yang tidak murah. Hal tersebut dibuktikan dengan mulai menjamurnya tempat-tempat olah raga dan co-working space yang berbayar,”jelasnya.
Ia menyebut, privatisasi ruang publik jelas menimbulkan permasalahan sosial yang kompleks. Kemunculan gangster remaja adalah salah satu akibat dari situasi tersebut, yakni menyempitnya ruang publik bagi remaja kelas bawah.
Tak hanya itu, Radius menjelaskan, perbuatan gangster dengan berbagai perilaku menyimpang adalah gambaran dari subkultur. Artinya, semakin masyarakat bereaksi keras mengucilkan dan mengecam ulah mereka bahkan cenderung menggangap mereka sampah justru kelompok ini akan semakin solid, militan, semakin menarik diri, dan bahkan tak jarang mengembangkan perlakuan yang menyimpang dan biasanya lebih ekstrim dari sebelumnya.
“Biasanya semakin dikucilkan dan dikecam, mereka semakin kompak dan militan. Mereka semakin menarik diri dan hal tersebut justru berbahaya bagi generasi kita ke depan,”jelasya.
Radius yang merupakan Desain Komunikasi Visual (DKV) UM Surabaya menyebut fenomena gangster pamer kekerasan di media sosial berhubungan dengan pengakuan khalayak. Menurutnya, senjata adalah simbol kekuatan, sementara media sosial memfasilitasi hal tersebut.
Di akhir keterangannya, ia menegaskan pemerintah dan semua pihak perlu meresponnya secara bijak dan terukur. Memotong munculnya gangster baru adalah salah satu tindakan tepat.
“Tentunya dengan menyediakan ruang-ruang publik yang produktif, terbuka dan bebas. Sebuah ruang yang bisa diakses oleh semua pihak tanpa membedakan kelas, status, agama atau identitas lain,”tukas Radius.
(0) Komentar