Foto Satria Unggul Wicaksana Pakar Hukum UM Surabaya (Humas)
Permohonan perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan, Suhartoyo menyebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu tersebut tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, dan MK telah mengabulkannya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) pernah memutuskan pengujuan dengan materi serupa, Mantan narapidana kasus korupsi atau napi koruptor boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024 berkat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Dalam putusan itu, MA mengabulkan gugatan Lucianty atas larangan eks napi koruptor nyaleg yang diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018. MA menuliskan sejumlah pandangan saat mencabut larangan itu. Beberapa alasan di antaranya mengaitkan larangan itu dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengungkapkan ada 52 mantan narapidana (Napi) yang terdaftar sebagai bakal calon legislatif (Bacaleg) DPR RI pada Pemilu 2024.
Berkaitan dengan Pemilu 2024 yang semakin dekat, maka dari itu ada beberapa catatan berkaitan dengan polemik tersebut. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) sekaligus Direktur Pusat Studi Anti-korupsi & Demokrasi (PUSAD) UMSurabaya Satria Unggul Wicaksana memberikan tanggapannya.
Pertama, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), apalagi akar masalah kasus korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, tentu hal ini harus menjadi dasar mengapa sulit untuk mengembalikan kepercayaan terhadap mantan narapidana koruptor untuk kembali berkontestasi dalam Pemilu 2024 dan mengisi jabatan public.
“Hal ini dikhawatirkan akan melakukan kembali (rebound) terhadap kasus serupa manakala mantan napi koruptor mengisi jabatan publik kembali,”ujar Satria Senin (4/9/23)
Kedua, walaupun hak dipilih merupakan hak dasar warga negara, namun hak tersebut adalah hak yang dapat dibatasi, seharusnya MK dan MA mampu menggali rasa keadilan di tengah masyarakat, dimana hal tersebut tertuang dalam Pasal 5 UU No.24 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, sehingga putusan tersebut tak menjadi yurisprudensi yang menguntungkan bagi mereka yang pernah terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi
Ketiga, Satria menegaskan, perlu adanya jeda waktu dan memberi pidana tambahan khususnya di Pengadilan Tipikor berkaitan dengan pencabutan hak politik, yang tidak terpaku pada tahun, namun dalam masa periode Pemilu, sehingga mantan narapidana koruptor tidak langsung terlibat dalam agenda kontestasi politik setelah bebas dari proses pemidanaan
Keempat, mengharap peran serta masyarakat untuk melakukan tracking dan monitoring terhadap mantan narapidana koruptor yang terlanjur mencalonkan diri dalam Pemilu 2024 agar tak melakukan lagi korupsi di kemudian hari.
“Atau justru menolak memilih mereka dan memilih caleg yang memiliki rekam jejak berintegritas, tidak benturan kepentingan, dan memiliki komitmen dan agenda pemberantasan korupsi agar lebih baik lagi di Indonesia,”tegas Satria.
(0) Komentar