Kasus Wadas: Pakar Hukum UM Surabaya Ungkap Politik Ekologi

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Kasus Wadas: Pakar Hukum UM Surabaya Ungkap Politik Ekologi
Gambar Artikel Kasus Wadas: Pakar Hukum UM Surabaya Ungkap Politik Ekologi
  • 12 Feb
  • 2022

Ilustrasi gambar Detikcom/Rinto Heksantoro

Kasus Wadas: Pakar Hukum UM Surabaya Ungkap Politik Ekologi

Persoalan penolakan warga terhadap rencana pembangunan pemerintah muncul kembali. Kasus penolakan pembangunan Bendungan Beres di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah menjadi satu dari sekian realitas bahwa ada politik ekologi disana.

Achmad Hariri Pakar Hukum sekaligus Dosen Fakultas Hukum (FH) menjelaskan bahwa permasalahan ini bermula dengan adanya SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20/2021 tentang pembaruan penetapan lokasi pengadaan tanah bagi Bendungan Wonosobo.

“Disana ada dua proyek yang sedang berlangsung di desa wadas, pertama pembangunan waduk dan penambangan batu andesit. Mengenai pembangunan waduk merupakan salah satu klaster Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana diatur dalam. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah dan sebagaimana yang diubah pada Pasal 123 (2) UU 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja dan  pasal 2  Pasal 2 PP 19 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,”ungkap Hariri.

Hariri menegaskan bahwa pada putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam amarnya memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Artinya pembanguan waduk yang termasuk yang diatur dalam UU cipta kerja dan PP 19 Tahun 2021 seharusnya dihentikan.

“Mengenani pertambangan batu andesit yang akan dijadikan material pembangunan waduk di Desa Wadas itu seharusnya ada Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Kegiatan pertambangan tidak dibenarkan kalau belum ada IUP termasuk pertambangan di Desa Wadas,”imbuh Hariri Jumat (11/2/22)

Lebih lanjut lagi ia menambahkan jika dikaji dari politik hukum pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam di Indonesia memang mengarah pada paradigma antroposentrisme dari pada ekosentrisme, hanya mementingkan kepentingan pembangunan semata tanpa peduli terhadap lingkungan.

“Izin terkait dengan ekploitasi SDA seharusnya diperketat bukan dipermudah seperti aturan yang ada sekarang. Paradigma pembangunan seperti ini kerap kali akan menimbulkan masalah. Jangan sampai SDA menjadi penyebab malapetaka. Kasus serupa dengan Desa Wadas sangat banyak, bagaimana penolakan masyarakat tidak di dengar karna ada relasi kuasa yg sangat tajam,”pungkasnya.