Eri-Armuji Lawan Kotak Kosong di Pilwalkot Surabaya, Ini Kata Pakar UM Surabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Eri-Armuji Lawan Kotak Kosong di Pilwalkot Surabaya, Ini Kata Pakar UM Surabaya
Gambar Artikel Eri-Armuji Lawan Kotak Kosong di Pilwalkot Surabaya, Ini Kata Pakar UM Surabaya
  • 27 Sep
  • 2024

ANTARA FOTO/Didik Suhartono/tom

Eri-Armuji Lawan Kotak Kosong di Pilwalkot Surabaya, Ini Kata Pakar UM Surabaya

Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Satria Unggul Wicaksana memberikan tanggapan soal pasangan calon (Paslon) tunggal di Pilkada Kota Surabaya, Eri Cahyadi-Armuji. Sebagai petahana, Eri-Armuji kembali maju dengan dukungan besar dari berbagai partai politik yang melawan kotak kosong.

Satria yang juga Direktur Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (Pusad) UM Surabaya berpendapat, calon tunggal terutama dari petahana bisa memicu politik transaksional.

”Apalagi yang mendapat dukungan absolut atau penuh dari seluruh partai politik seperti di Surabaya,” kata Satria Jumat (27/9/24)

Satria mengatakan, masih relevan adagium Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg-Acton), power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutety, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.

”Saya curiga dukungan absolut memicu perilaku koruptif,” ujarnya yang juga Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).

Ia menjelaskan, dalam penelitian yang telah dilakukan Pusad, kecenderungan koruptif terjadi karena kontestasi berkelindan dengan kebutuhan logistik atau biaya yang tinggi. Untuk pemilihan kepala desa di Jatim, seorang calon rata-rata mengeluarkan biaya Rp 2 miliar-Rp 3 miliar. 

“Untuk bupati atau wali kota, biaya politik yang dikeluarkan bisa menembus Rp 100 miliar, terutama untuk honor saksi, kampanye, dan mobilitas massa,”imbuh Satria lagi. 

Menurut penjelasannya, di Surabaya sebagian warganya crazy rich. Para naga bisnis atau konglomerat mampu membiayai calon politik, tetapi dengan konsekuensi diakomodasi kepentingannya yang bisa menjerat penguasa menjadi korup. 

Satria menilai maraknya fenomena kotak kosong di berbagai wilayah mencerminkan kemunduran demokrasi, karena masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang tidak ideal. 

"Bisa dikatakan ini sebuah kemunduran demokrasi karena proses kompetisinya hilang, padahal seharusnya masyarakat bisa melihat adu pemikiran, gagasan, rancangan program. Kalau kotak kosang kan ya menjadi tidak ada,”pungkasnya.