Foto Satria Unggul Wicaksana Dosen UM Surabaya (Humas)
Gegap gempita pesta demokrasi sudah mulai dirasakan di Indonesia. Beberapa tokoh mulai bermunculan dan dan diusung sebagai calon orang nomor satu di Indonesia.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia dituntut terus melakukan regenerasi kepemimpinan, mulai dari tingkat lokal hingga kepemimpinan nasional. Regenerasi kepemimpinan melalui Pemilihan Umum (Pemilu).
Mengutip Bawaslu RI 2021, pemilu 2024 akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kesulitan hak pilih lantaran banyaknya surat suara, adanya irisan tahapan penyelenggaraan yang akan berjalan bersamaan antara pemilu dan pilkada, serta pemutakhiran data pemilih disinyalir akan menjadi masalah pada Pemilu 2024.
Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Satria Unggul Wicaksana menjelaskan, DPR, pemerintah, dan KPU menyepakati besaran anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp 76 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan kepada peserta pemilu untuk alat peraga, kampanye, serta biaya logistik lainnya.
“Jika tidak digunakan untuk terobosan pemilu dan habis di logistik, tentu hal tersebut menjadi masalah serius dalam wujudkan Pemilu yang langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil),”jelas Satria Sabtu (11/9/23)
Menurutnya isu suku, ras, agama, adat-istiadat (SARA) yang digunakan oleh peserta Pemilu, termasuk penggunaan isu politik uang, menguatnya populisme, hadirnya calon peserta pemilu yang merupakan mantan narapidana korupsi, serta politik dinasti yang menjadi tantangan yang sangat berat dalam jalannya Pemilu 2024.
Satria yang juga Direktur Pusad Studi Anti Korupsi dan Demokrasi membagikan tiga pesan yang perlu dilakukan oleh masyarakat menjelang Pemilu 2024 ini.
Pertama, pemilih harus melakukan tracking terhadap rekam jejak peserta Pemilu, baik partai, maupun calon legislatif, calon presiden-wapres, dan calon kepala daerah. Rekam jejak dalam kaitannya dengan integritas, tidak terlibat dalam politik dinasti sehingga dapat menguatkan demokrasi Indonesia
Kedua, menghindari berbagai penyakit demokrasi, seperti intervensi politik uang, penggunaan isu SARA, serta upaya memecah-belah persatuan yang lainnya, agar estafet kepemimpinan yang dilakukan pada Pemilu 2024 mampu menghasilkan pemimpin yang diharapkan masyarakat.
Ketiga, resielensi masyarakat perlu diperkuat, dengan tetap aman untuk menyampaikan kritik secara bertanggungjawab baik secara langsung maupun melalui media sosial.
“Resielensi untuk memilih calon pemimpin yang dapat menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk pertahankan demokrasi, HAM, anti-korupsi, serta komitmen dalam mensejahterakan masyarakat,”pungkas Satria.
(0) Komentar