Dosen UM Surabaya Beri Tanggapan Soal Legalisasi Politik Uang dalam Pemilu

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Dosen UM Surabaya Beri Tanggapan Soal Legalisasi Politik Uang dalam Pemilu
Gambar Artikel Dosen UM Surabaya Beri Tanggapan Soal Legalisasi Politik Uang dalam Pemilu
  • 20 Mei
  • 2024

Ilustrasi gambar (bawaslu.go.id)

Dosen UM Surabaya Beri Tanggapan Soal Legalisasi Politik Uang dalam Pemilu

Berangkat dari usulan Hugua, anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi PDIP yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) melegalkan praktik politik uang dalam proses pemilu. Hal tersebut direspon oleh Pakar Ekonomi UM Surabaya Arin Setyowati 

Arin menjelaskan, politik uang (Money Politic) sering dikenal dengan suap maupun sogok, sebuah upaya pemberian uang atau bentuk lainnya, yang diberikan oleh peserta kampanye dengan maksud terang-terangan dan atau terselubung untuk memperoleh dukungan guna memenangkan kontestasi pemilihan. 

Dalam buku “Vote Buying in Indonesia”, Burhanudin Muhtadi menjelaskan terkait beberapa faktor yang mempengaruhi politik uang di Indonesia meliputi ; Sistem politik multi-partai yang berdampak maraknya jual beli suara dan rekomendasi, pada tahap ini, terjadi transaksi politik antar-elit dan partai politik. Kemudian, Desain kelembagaan politik yang berdampak pada calon mengejar personal vote dengan cara politik uang (Muhtadi, 2019)

“Fenomena politik uang tersebut di Indonesia sebenarnya sudah diatur dalam UU PKPU No.1 Tahun 2013 dan bagi yang melanggar maka akan mendapatkan sanksi pidana. Namun, realitas dari pemilu ke pemilu, hampir tidak ada laporan Bawaslu yang mengarah pada politik uang, meskipun itu nyata dan ada di saat pemilu,”ujar Arin Senin (20/5/24)

Arin menjelaskan, dalam kacamata moralitas, tentu politik uang dilarang karena dinilai melakukan kecurangan dalam kompetisi, artinya hal tersebut tidak fair, tidak jujur dan tidak adil. Selain itu politik uang dinilai berpengaruh negatif terhadap hasil kompetisi, baik bagi yang terpilih maupun masyarakat. 

Adapun dampak politik uang terhadap kondisi ekonomi adalah semakin menumbuh suburkan praktik-praktik korupsi yang berujung dapat menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dari hasi penelitian yang dilakukan oleh Paolo Mauro sebagaimana dikutip Joko Waluyo, secara ekonomi keberadaan korupsi dan politik uang akan menganggu mekanisme transmisi pendapatan dan kekayaan. Sehingga akan menyebabkan timbulnya kesenjangan pendapatan.

“Sedangkan dari sisi etika politik, politik uang berimbas pada rusaknya pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang pada gilirannya menyumbat partisipasi politik. Sementara rakyat (pemilih) dalam proses seperti ini tetap menjadi objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan,”imbuhnya lagi. 

Lebih parah lagi, politik uang jika hanya dijadikan ajang mencari penghasilan oleh masyarakat awam tanpa mempedulikan nilai nilai dari demokrasi, maka imbasnya yang hari ini dapat dilihat dari perilaku kepala daerah terpilih yang tidak memiliki rasa solidaritas terhadap kesulitan-kesulitan yang menimpa rakyatnya. Bagitu juga dengan program-program pembangunan yang semestinya berlangsung dengan professional, transparan, dan hasil kerja (proyek) berkualitas tinggi ternyata tidak berlangsung seperti yang diharapkan. 

“Tentu hal-hal tersebut perlu menjadi catatan kita untuk perbaikan demokrasi substansi bernegara kita ke depan,”pungkas Arin.