Istimewa
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada awal 2025 memunculkan beragam pandangan dari kalangan ahli, salah satuya Arin Setyowati, Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Arin mengatakan kebijakan ini akan mempengaruhi konsumsi, investasi dan stabilitas ekonomi nasional.
“Bagi ekonomi rumah tangga, kenaikan PPN di angka 12% akan langsung meningkatkan harga barang dan jasa. Dengan kontribusi konsumsi rumah tangga sekitar 55%-60% terhadap PDB, tentu kenaikan harga dapat menurunkan daya beli masyarakat terutama dari kelas bawah,”kata Arin Kamis (21/11/24)
Lebih lanjut, kata Arin jika terjadi penurunan konsumsi maka akan mengurangi permintaan barang dan jasa secara agregat. Artinya, adanya kebijakan kenaikan tarif PPN akan menambah beban biaya hidup masyarakat serta dapat memperburuk situasi ekonomi, terutama bagi pekerja informal yang sangat bergantung pada daya beli lokal.
Selain itu, bagi masyarakat yang berpendapatan rendah akan lebih terdampak karena mereka menghabiskan proporsi lebih besar dari pendapatan mereka untuk konsumsi.
“Hal tersebut dapat memperburuk kesenjangan sosial jika tidak diimbangi dengan subsidi atau bantuan langsung tunai,”tegas Arin.
Lebih parah lagi, kata Arin kenaikan tarif PPN juga akan menimbulkan beban pajak yang lebih tinggi, sehingga dapat mengurangi margin keuntungan perusahaan, terutama UMKM yang sensitif terhadap kenaikan biaya.
“Jika banyak perusahaan, terutama di sektor ritel, manufaktur hingga UMKM mengalami penurunan pendapatan, maka besar kemungkinan mereka akan melakukan efisiensi, pengurangan produksi hingga menutup usaha,”imbuhnya lagi.
Maka besar kemungkinan, hal yang akan terjadi adalah dilakukan pengurangan jam kerja, moratorium rekrutment tenaga kerja baru, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) guna menjaga profitabilitas.
Sementara, sektor informal masih sangat mendominasi pasar tenaga kerja di Indonesia, yang akan lebih rentan terdampak. Akibatnya, lapangan kerja di sektor ini berisiko menyusut dan angka pengangguran meningkat drastis.
Selain itu, kenaikan tarif PPN akan mendorong inflasi berbasis cost-push, terutama untuk barang kebutuhan pokok yang tidak termasuk dalam kategori bebas PPN.
Kata Arin, hal ini bisa dikendalikan melalui kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi, dampak inflasi bisa diminimalkan, terutama jika Bank Indonesia mempertahankan stabilitas suku bunga.
Namun, risiko ekonomi atau kontraksi ekonomi perlu menjadi perhatian utama, mengingat pada keputusan pemerintah pada April 2022 bahwa adanya kenaikan PPN dari 10% ke 11% nyatanya mendorong inflasi sebesar 0,95%.
“Artinya, dampak tersebut perlu menjadi early warning untuk pengambilan kebijakan mendatang,”katanya.
Adapun strategi pemerintah untuk memitigasi dampak negatif-negatif tersebut yakni dengan melakukan perlindungan bagi kelompok rentan melalui bantuan sosial untuk jaring pengaman sosial.
Pemerintah juga perlu melakukan pengurangan beban pajak lain sebagai treatment penyeimbang, serta dana tambahan dari kenaikan PPN harus dialokasikan ke sektor-sektor prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial untuk meredam dampak terhadap masyarakat rentan.
“Selanjutnya pemerintah lebih fokus pada reformasi pajak yang lebih luas,”pungkasnya.
(0) Komentar