Universitas Udayana salah satu perguruan tinggi negeri di Bali (Sumber: unud.ac.id)
Penetapan tersangka Rektor Universitas Udayana dalam kasus korupsi Dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi jalur mandiri tahun 2018/2019 hingga tahun 2022/2023 memantik perhatian akademisi untuk memberikan tanggapan, salah satunya Pakar Hukum UM Surabaya Satria Unggul Wicaksana.
Menurutnya kasus rasuah yang melibatkan pimpinan perguruan tinggi bukan kali pertama, sebelumnya kasus serupa juga menjerat rektor Universitas Lampung. Ia menyebut, kampus telah menjadi sangat bermasalah akibat tidak transparan dan akuntabel, khususnya pada seleksi mandiri mahasiswa FK, hal inilah yang harus menjadi perhatian.
“Pola seleksi mahasiswa harus dibuka seluas-luasnya, dan menjadi momentum agar seleksi mahasiswa FK ataupun seleksi mahasiswa mandiri lainnya baik di PTN maupun PTS tidak terjadi praktik korupsi,”ujar Satria yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum UM Surabaya.
Ia juga menyebut, watak karakter koruptif pejabat perguruan tinggi, khususnya di PTN juga terjadi karena porsi pemilihan Rektor ada suara mayoritas dari Menteri sebanyak 35%, hal ini membuka celah transaksi politik kotor yang akan mengesampingkan pemilihan rektor yang mengedepankan prinsip meritokrasi, ini menjadi akar masalah serius dari korupsi di Perguruan Tinggi yang dilakukan Rektor.
Menurutnya, penegak hukum KPK/Kejaksaan harus mengejar larinya aset dari hasil korupsi yang dilakukan oleh Rektor yang terlibat kasus korupsi, termasuk jaringan aktor korupsi yang terlibat, karena kita mengetahui praktik tersebut dilakukan sistematis. Termasuk potensi pencucian uang untuk melarikan atau mengaburkan aset yang dihasilkan dari hasil korupsi
“Sebagai institusi perguruan tinggi yang memiliki beban moral dalam menjaga integritas, kampus harus mampu menjadi contoh baik dengan tidak toleran terhadap praktik korupsi, kampus harus membuat mekanisme dan kendali mutu yang memadai untuk mencegah suap, benturan kepentingan, serta praktik korupsi lainnya. Hasil audit tersebut harus didiseminasikan kepada publik sebagai komitmen dalam menguatkan peran perguruan tinggi dalam pemberantasan korupsi,”tegas Satria lagi.
Ia juga mengatakan, menguatkan kontrol masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi merupakan langkah yang harus dilakukan, sejalan dengan Pasal 41 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Kanal yang bisa dilakukan adalah dengan menggerakkan NGO, kelompok masyarakat yang berpotensi terdampak, mahasiswa dan pers mahasiswanya, agar kasus serupa tak terjadi di kemudian hari,”katanya.
Tak hanya itu, Satria juga memberikan sejumlah rekomendasi kepada Kemendikbud Ristek guna memutus mata rantai praktik lancung ini. Pertama, Kemendikbud Ristek harus serius menyelesaikan masalah ini sampai ke akar-akarnya, dapat menginvestigasi seluruh seleksi mahasiswa FK yang dilakukan di PTN, khususnya yang berkaitan dengan seleksi mandiri.
Kedua, Kemendikbud Ristek harus imparsial dalam pemberantasan korupsi di Perguruan Tinggi, namun hal ini berat karena suara 35% menteri akan menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan kerja pemberantasan korupsi yang obyektif.
“Terakhir, merubah secara fundamental kebijakan seleksi mandiri mahasiswa PTN, khususnya di FK, agar tidak terulang kasus serupa di kemudian hari,”pungkas Satria.
(0) Komentar