Banyak Kelas Menengah Turun Kelas, Ini Tanggapan Dosen UM Surabaya

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Banyak Kelas Menengah Turun Kelas, Ini Tanggapan Dosen UM Surabaya
Gambar Artikel Banyak Kelas Menengah Turun Kelas, Ini Tanggapan Dosen UM Surabaya
  • 02 Sep
  • 2024

Tangkapan Layar Tik Tok

Banyak Kelas Menengah Turun Kelas, Ini Tanggapan Dosen UM Surabaya

Radius Setiyawan Dosen Kajian Media dan Budaya UM Surabaya turut memberikan komentar soal kelompok kelas menengah yang berkurang 9,48 juta dalam 5 tahun terakhir. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada tahun 2019 ada 57,33 juta penduduk Indonesia dalam kelompok kelas menengah. Sementara di 2024, angka itu merosot menjadi 47,85 juta penduduk.

Dalam pemberitaan yang beredar, seperti yang disampaikan Plt Kepala BPS Amalia Adininggar menyebut penyebab utama turunnya kelas menengah tahun ini adalah efek pandemi Covid-19 yang masih terasa sampai saat ini, terutama kepada perekonomian. 

Radius menilai, bukan sesuatu hal yang mudah menjadi kelas menengah di Indonesia. Penghasilan yang serba tanggung membuat seseorang terlalu kaya untuk diberikan bantuan sosial sebagaimana kelompok miskin. 

“Status “tanggung” alias tidak miskin dan tidak kaya ini seharusnya juga menjadi concern pemerintah dalam membuat instrumen kebijakan, karena jika tidak hal ini bisa menjadi ancaman buruk bagi mimpi Indonesia Emas pada tahun 2045,”ujarnya. 

Radius menilai, kelompok menengah yang semakin miskin bisa juga disebabkan oleh  budaya konsumersime yang tinggi. Ia menjelaskan, Indonesia sebagai negara penghasil food waste terbanyak dan menempati peringkat yang tinggi. 

“Perilaku konsumsi yang berlebihan adalah salah satu penyebabnya. Perilaku tersebut salah satunya didorong oleh apa yang disebut Marcuse sebagai kebutuhan palsu (false needs),”ujar Radius Senin (2/9/24)

Radius mencontohkan, saat ini banyak keberadaan cafe dan resto yang mengubah ritme gaya hidup sebagian orang, budaya nongkrong di cafe saat ini sudah menjadi suatu kegiatan yang selalu dilaksanakan setiap akhir pekan dan salah satu aktivitas wajib untuk mengisi waktu luang.

“Budaya nongkrong di cafe bisa jadi mengarah kepada self-esteem dan prestige untuk memenuhi kebutuhan palsu,”imbuh Radius lagi. 

Selain itu, keberadaan social media yang juga menjadi titik balik perubahan gaya hidup seseorang, aktivitas nongkrong bisa menjadi ajang untuk dapat diakui dan menunjukkan eksistensi di dalam pergaulan itu sendiri. Masyarakat Indonesia khusunya remaja adalah kelompok individu yang cepat meresap dan menyaring trend yang sedang terjadi di dalam masyarakat dan nongkrong di cafe adalah suatu trend terus dikuti oleh remaja-remaja pada zaman sekarang.

“Hal tersebut memunculkan konsekuensi adanya kecenderungan seseorang untuk menjadi semakin superfisial, hal ini berkaitan dengan pembentukan citra demi mendapatkan sebuah status sosial yang lebih tinggi,”imbuhnya lagi. 

Radius juga mencontohkan kegemaran kelas menengah mengonsumsi barang impor, mulai dari makanan, fesyen, barang elektronik hingga otomatif. Menurutnya, praktik gaya hidup mewah merupakan sebuah praktik konsumsi barang-barang simbolik dengan tujuan membentuk dan menampilkan sebuah identitas yang lebih tinggi dari identitas asli pelakunya.  

“Praktik ini semakin banyak terjadi karena pembeda kelas sosial antara yang kaya dan miskin semakin jelas,”katanya.

Sehingga melihat ancaman besar seperti itu, pemerintah tidak boleh hanya fokus bahwa ini adalah dampak dari Covid, melainkan ada banyak faktor yang mempengaruhi.

“Maka dari itu, harus dicari solusi untuk meredam penyebaran budaya konsumtif tadi, agar tidak menjadi petaka di kemudian hari,”pungkasnya.