Banyak Gen Z Dipecat dari Perusahaan, Pakar UM Surabaya: Sulitnya Adaptasi Diri

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Banyak Gen Z Dipecat dari Perusahaan, Pakar UM Surabaya: Sulitnya Adaptasi Diri
Gambar Artikel Banyak Gen Z Dipecat dari Perusahaan, Pakar UM Surabaya: Sulitnya Adaptasi Diri
  • 15 Jan
  • 2025

Istimewa

Banyak Gen Z Dipecat dari Perusahaan, Pakar UM Surabaya: Sulitnya Adaptasi Diri

Sejumlah perusahaan dilaporkan banyak memangkas pegawai dari kalangan Generasi Z atau Gen Z sepanjang 2024. Para pekerja dengan kelahiran 1997 hingga awal 2010 itu banyak kena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan.

Radius Setiyawan Dosen UM Surabaya sekaligus pengkaji pop culture menilai tingginya angka pemecatan Gen Z di perusahaan juga berkaitan dengan karakter Gen Z itu sendiri. Menurut Radius, Gen Z  dikenal memiliki pandangan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Generasi ini cenderung memprioritaskan keseimbangan hidup, perkembangan diri, serta memiliki harapan tinggi akan fleksibilitas kerja dan peran yang bermakna.

“Ketika Gen Z bekerja di sebuah perusahaan, maka secara otomatis dia harus mematuhi pakem-pakem dan berperilaku sesuai dengan budaya organisasi, sementara itu bertentangan dengan ekspresi mereka,”ujar Radius Rabu (15/1/25)

Radius menjelaskan, bahwa sebagian besar Gen Z juga menggaungkan self love , sementara bagi perusahaan  menerapkan perilaku yang berfokus pada diri sendiri berarti melenceng dari kultur yang telah dibangun dari tradisi sebelumnya. Dan karakter itu bukanlah sesuatu yang dicari oleh sebagian besar pengusaha.

Lebih lanjut, Radius mencontohkan beberapa kasus yang terjadi pada Gen Z yang dipecat karena menggunakan bahasa kasual atau bahasa santai di kantor. Menurutnya bahwa kehadiran media sosial membuat banyak Gen Z minim terpapar bahasa formal.

“Misalnya saja, generasi Z ini lebih tertarik mengonsumsi berita dari TikTok ketimbang mendengar saluran berita dengan gaya yang lebih formal, mereka lebih banyak mendengar para pemengaruh di media sosial seperti influencer dan sejenisnya,”imbuhnya.

Sehingga hal ini, kata Radius dapat mempengaruhi bahasa yang digunakan, seperti berbicara lebih santai, bersahabat, dan informal.

Persoalan lain terkait kasus ini adalah soal ekspektasi yang tidak realistis tentang jenis pekerjaan, gaji, dan kondisi kerja. Banyak Gen Z memiliki harapan tinggi terhadap posisi yang diinginkan, termasuk gaji besar, fleksibilitas, dan lingkungan kerja yang nyaman, tetapi seringkali realitas pasar tidak memenuhi harapan tersebut.

“Akibatnya, banyak dari Gen Z merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak sesuai dengan aspirasi mereka, sehingga menyebabkan ketidakpuasan dan keinginan untuk keluar dari perusahaan mereka bekerja,”tegas Radius lagi.

Padahal ketidakcocokan antara harapan dan kenyataan ini dapat menghambat pencarian kerja dan meningkatkan angka pengangguran di kalangan Gen Z.

Kata Radius, perubahan adalah suatu keniscayaan di tengah arus digital yang serba cepat. Sudah seharusnya juga perubahan-perubahan ini mungkin perlahan diterapkan di tempat kerja.

“Artinya ketika Generazi Z diharuskan beradaptasi dengan standar profesional di perusahaan, para pemimpin senior juga harus menghargai bahwa gaya bahasa dan kebutuhan karyawan berubah seiring berjalannya waktu,”katanya.

Selanjutnya yang tidak kalah penting, faktor kelas ekonomi, gender, ras, dan agama. Sejumlah hal ini sering kali luput, ketika membicarakan hambatan Gen Z dalam mendapatkan pekerjaan.

Faktanya, masih banyak perempuan yang cenderung sulit berpartisipasi dalam dunia kerja. Penyebabnya adalah minimnya kesempatan kerja yang berkaitan dengan stereotip gender, dan kerja perawatan yang enggak dipandang sebagai pekerjaan.

Terakhir Radius memberikan beberapa rekomendasi pekerjaan yang cocok untuk Gen Z seperti conten creator, media sosial specialist, enterpreuner, designer, fotografer, videographer, data scientist dan conten writer.

“Beberapa rekomendasi ini mungkin cocok untuk Gen Z karena bisa dilakukan dimana saja atau istilahnya Work From Anywhere,”pungkasnya.