Ilustrasi gambar (Freepik)
Hari-hari ini, media sosial diramaikan dengan berita dikabulkannya permohonan pencatatan nikah pada pasangan beda agama. Permohonan tersebut dikabulkan melalui Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby.
Dalam putusananya, Hakim PN Surabaya mengabulkan permohonan RA yang beragama Islam dan EDS yang beragama Kristen untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kotamadya Surabaya.
Padahal sebelumnya, permohonan pencatatan nikah yang diajukan oleh keduanya ditolak Dispendukcapil Kota Surabaya dengan alasan berbeda agama.
Ramainya kasus tersebut menarik perhatian Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UM Surabaya Gandung Fajar Panjalu untuk memberikan tanggapan.
Menurut Gandung, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang menjadikan agama sebagai salah satu hal penting dalam hidupnya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Paw Research Center, menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat religiusitas tinggi dan menempatkan agama sebagai hal penting.
Dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan (UUP) Nomor 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan bekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Selanjutnya, pasal 2 UUP menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap Warga Negara Indonesia yang hendak menikah haruslah tunduk terhadap aturan agama yang ia anut tentang perkawinan.
Bagi WNI yang beragama Islam, dalam hal perkawinan juga terikat dengan hukum perkawinan sebagaimana dalam Buku I Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991.
“Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 40C tentang larangan seorang pria muslim menikahi wanita non-muslim, dan sebaliknya sebagaimana dalam pasal 44,”jelas Gandung Selasa (21/6/22)
Dalam keterangan tertulis Gandung menjelaskan terdapat dua alasan mendasar yang menjadikan perkawinan beda agama tidak dapat diterima dalam Islam.
Pertama, karena hal tersebut bertentangan dengan nash atau dalil dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Dalil tersebut terdapat dalam Q.S Al-Baqarah 221 yang melarang perkawinan dengan pasangan yang musyrik.
Sementara itu, alasan kebolehan perkawinan dengan ahli kitab telah direkonstruksi dengan konteks sosio-kultural yang terjadi saat itu sebagai ‘illat hukum kebolehan tersebut misalnya terkait dakwah serta mempertimbangkan jumlah Ummat Islam.
“Kedua, dikarenakan perkawinan beda agama tidak sesuai dengan tujuan ditetapkannya syariat Islam (Maqashid Syariah). Sebagaimana diketahui, tujuan Maqasid Syariah meliputi lima hal, yakni penjagaan terhadap agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal,”imbuhnya lagi.
Selanjutnya menurut Gandung perkawinan beda agama bukan hanya bertentangan dengan prinsip penjagaan agama (hifdh al-diin) saja namun juga dengan empat hal lain. Hal tersebut karena permasalahan keluarga dan agama memiliki kompleksitasnya masing-masing yang saling bertaut.
Gandung memberikan contoh terkait penjagaan harta (hifdh al-maal), bahwa perkawinan beda agama akan sangat berdampak terhadap persoalan harta.
“Misalnya terkait pengelolaan harta bersama, pembagian waris, dan sebagainya. Begitu juga dengan persoalan penjagaan keturunan (hifdh al-nasb), bahwa perkawinan beda agama berkaitan dengan status hukum keperdataan anak, nasab anak, perwalian anak, dan sebagainya,”pungkasnya.
(0) Komentar