Aturan Mengenai Cuti Haid dan Upah Tetap Dibayarkan, Dosen UM Surabaya Berikan Tanggapan

  • Beranda -
  • Artikel -
  • Aturan Mengenai Cuti Haid dan Upah Tetap Dibayarkan, Dosen UM Surabaya Berikan Tanggapan
Gambar Artikel Aturan Mengenai Cuti Haid dan Upah Tetap Dibayarkan, Dosen UM Surabaya Berikan Tanggapan
  • 08 Feb
  • 2023

Ilustrasi gambar (Shutterstock)

Aturan Mengenai Cuti Haid dan Upah Tetap Dibayarkan, Dosen UM Surabaya Berikan Tanggapan

Haid atau dikenal juga dengan istilah menstruasi merupakan satu dari beberapa pengalaman tubuh, khususnya organ reproduksi perempuan. Pada fase menstruasi, tanda maupun gejala yang kerap dialami para perempuan diantaranya; nyeri pada perut, terasa seperti ditekan di bagian perut, terasa nyeri pada bagian pinggul, punggung bagian bawah, dan paha bagian dalam. Gejala lainnya bisa berupa sakit kepala, mual maupun diare. Ragam Gejala tersebut biasanya berlangsung selama 1 sampai 3 hari.

Hal tersebut, diperkuat dengan hasil survei American Congress of Obstetricians dan Gynecologists menyebutkan, lebih dari setengah perempuan mengalami rasa sakit saat haid, selama satu sampai dua hari. Rasa sakit tersebut dinamakan dismenore. American Academy of Family Physicians merilis data bahwa 20 persen perempuan mengalami dismenore yang cukup parah dan bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari.

Berpijak dari kajian tersebut, tidak salah jika sejak tahun 2003 di Indonesia sudah menetapkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yakni pasal 81 ayat 1.

“Pasal tersebut berbunyi; Pekerja atau buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid,”ujar Arin Setiyowati Dosen UM Surabaya sekaligus aktivis perempuan.

Arin menjelaskan, dalam klausul UU tersebut jelas bahwa tidak ada ketentuan bagaimana bentuk pemberitahuan dari pekerja perempuan kepada pengusaha yang dimaksud. Termasuk juga mengenai wajib atau tidaknya pekerja wanita yang sedang dalam masa haid untuk memberitahukan kepada pengusaha dengan surat dokter.

“Ketentuan menyangkut bentuk pemberitahuan tersebut diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB),”imbuh dia lagi.

Lebih lanjut dalam pasal 93 ayat 2 huruf mengatur bahwa kewajiban pengusaha tetap membayar upah kepada pekerja atau buruh dengan memenuhi elemen-elemen berikut; (a) pekerja atau buruh bersedia melakukan pekerjaan, (b) pekerjaan tersebut telah diperjanjikan dengan pengusaha, (c) pengusaha tidak mempekerjakan pekerja atau buruh tersebut, (d) tidak dipekerjakannya pekerja atau buruh oleh pengusaha karena kesalahan sendiri atau karena halangan yang dapat dihindari oleh pengusaha.

Namun, jika klausul pasal 81 ayat 2 tersebut diposisikan oleh perusahaan untuk mempersulit pemberian ijin cuti haid, hingga menjadikan perempuan yang haid terbebani ketika harus meminta cuti kerja karena haid. Hingga pasal 93 ayat 2 dilanggar oleh perusahaan, maka lebih lanjut pada pasal 186 bahwa perusahaan yang tidak memberikan hak cuti haid bagi pekerja perempuannya akan dikenai sanksi. Yakni sanksi pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun. Bisa pula dikenai denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 400 juta.

“Hal urgen lain yang perlu diperhatikan oleh perusahaan, apabila mengambil pekerja perempuan mengambil cuti haid, maka tidak akan mengurangi jatah cuti tahunan pekerja atau buruh yang bersangkutan,”tegas Arin lagi.

Arin menegaskan cuti haid menjadi isu penting bagi perempuan dan perlu menjadi perhatian bersama, mengingat pertama cuti haid sebagai bagian dari kesehatan reproduksi perempuan, yang tentu berdampak panjang pada kesehatan generasi bangsa dan peradaban.

Kedua, cuti haid sebagai well-being (kesejahteraan), yang berkesinambungan berdampak pada kesejahteraan keluarga dan lingkungan yang lebih luas.

“Sehingga, pemberian cuti haid ini sebagai bagian dari hak asasi perempuan sebagai manusia (HAM). Selain itu cuti haid menjadi penting untuk diberikan pada pekerja perempuan tanpa pandang status kerja dan masa kerja,”imbuhnya.

Di akhir keterangannya ia menegaskan, negara  harus lebih jeli mengawasi pelaksanaan cuti haid, supaya dalam pelaksanaan teknis di lapangannya tidak dipersulit maupun dihalang-halangi oleh perusahaan.

“Selain itu, mengingat tingkat pengetahuan tentang adanya cuti haid masih rendah bagi pekerja perempuan, maka negara juga harus lebih intens melakukan sosialisasi ke semua lapisan,”pungkas Arin.