Ilustrasi gambar (freepik)
Kementrian Agama pada tanggal 5 Oktober 2022 menetapkan Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada naungan Kementrian Agama.
Ramainya hal tersebut direspon langsung oleh Sri Lestari Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). Ia menyebut peraturan ini merupakan hal positif yang perlu direspon baik oleh masyarakat dan dapat dijadikan pedoman bagi satuan pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama.
“Mengingat belakangan ini banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan instansi agama, salah satunya kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, hal ini menjadi langkah awal Kementrian Agama mengontrol dan meregulasi tentang kekerasan seksual agar tidak terjadi lagi,”tutur Tari Rabu (19/10/22)
Tari menjelaskan, ada 16 bentuk kekerasan seksual yang dijabarkan dalam permen tersebut. Termasuk di antaranya adalah kekerasan verbal maupun non-verbal, fisik, non fisik baik yang dilakukan secara langsung maupun online.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual secara detail seperti ujaran diskriminatif atas tampilan fisik, ucapan lelucon siulan yang bernuansa seksual, kegiatan seksual atas dasar pemaksaan ancaman bujukan, tatapan bernuansa seksual, mempertontonkan alat kelamin dengan sengaja, termasuk juga perkosaan dan segala jenis tindakan Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) seperti pesan yang bernada seksual, mempertontonkan video, merekam, dan mengambil video yang berbau seksual.
Memang tertulis dengan jelas di PMA dan menjadi titik tekan di beberapa media bahwa siulan dan menatap yang bernuansa seksual. Kedua hal ini dapat diidentifikasi sebagai tindakan catcalling yang seringkali terjadi dan banyak kita temui di jalan raya atau ruang publik lainnya seperti di tempat pemberhentian bus atau trotoar.
“Umumnya perempuan yang mengalami ini, namun tidak menutup kemungkinan korban juga lelaki karena kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja,”imbuh Tari lagi.
Menurut Tari, jika dilihat dalam perspektif gender, catcalling bisa dianggap sebagai bentuk objektifikasi kepada korban. Objektifikasi yang dimaksud adalah siulan karena ditujukan pada fisik korban yang menarik saja sehingga dapat menyinggung korban dan berdampak pada korban merasa tidak nyaman, ketakutan, bahkan bisa saja menimbulkan kecemasan dan kewaspadaan yang berlebihan saat berada di ruang publik.
“Masyarakat perlu tahu bahwa tindakan siulan atau menatap yang bernuansa seksual merupakan tindakan yang melanggar nilai hak asasi manusia dan merendahkan martabat,”ujarnya.
Ia menyebut kultur budaya patriarki masih melekat di masyarakat kita. Akibatnya, banyak yang masih menganggap tindakan tersebut sebagai candaan dan kerap kali justru korban yang disalahkan karena dianggap berlebihan merespon tindakan tersebut.
Edukasi perlu dilakukan tentang bagaiamana merespon kekerasan seksual yang termasuk jenis catcalling ini. Adanya pemberitaan tentang siulan dan candaan yang menjadi headline di media merespon PMA juga dapat dilihat secara positif sebagai proses edukasi bahwa masyarakat harus sadar tindakan siulan atau komentar atas tubuh yang seringkali dilakukan dijalanan itu salah dan melanggar hukum.
“Di sisi lain, ketika mengalami pelecehan tersebut, masyarakat jadi tahu dan harus berani untuk menegur pelaku. Dengan berani melawan dan menegur pelaku menjadi bentuk antisipasi dan tindakan membela diri. Katakan saja bahwa tindakan tersebut melanggar hukum dan bisa dilaporkan,”pungkas Tari.
(0) Komentar